Perjalanan dari Solo ke Purwodadi Grobogan, kemudian dari Purwodadi dengan jurusan Blora, dengan jalur angkutan bus butut itu sangat melelahkan. Saya tiba di sebuah dusun terpencil, jauh ke utara dari jalan raya Grobogan-Blora. Dusun Geritan, Kecamatan Ngaringan. Suatu wilayah yang saya kenal dengan baik. Saya punya rekan akrab yang sudah lama saya kenal. Rekan saya itu sudah meninggal empat tahun silam. Tinggallah kini keluarganya yang mengenal saya.
Kali pertama saya ke dusun itu pada tahun 1999 petang menjelang puasa. Kemudian berturut-turut di tahun-tahun selanjutnya. Kemudian di hari saat kawan saya meninggal di tahun 2005 silam. Dan kali ini merupakan kali kedua kunjungan saya setelah rekan saya itu tiada.
Saya mengenal beberapa orang yang tinggal di dusun itu, sebagaimana saya juga mengenal sedikit topografi wilayah itu. Di sebelah barat dusun itu mengalir sebuah kali yang airnya berasal dari sumber mataair jauh di utara dusun. Dusun itu juga dibelah oleh jalan di bagian timurnya, dan di sisi jalan itu mengalir kali kecil (orang kampung menamainya, kalen).
Di timur dusun itu adalah bentangan sawah yang luas. Dulu, jauh memandang ke timur bentangan sawah di timur dusun, pandangan mata kita dibatasi oleh deretan pohon jati yang memanjang dari utara ke selatan. Di utara dusun itu rupanya terdapat hutan jati dengan hewan berupa monyet-monyet.
Saya pernah diajak pada sebuah kesempatan, kira-kira setelah Lebaran di tahun 2002, untuk menyaksikan dari dekat hutan di utara dusun itu, meski waktu itu saya tidak melihat dari jarak yang cukup dekat. Hutan jati itu cukup gelap, menandakan bahwa area hutan cukup luas.
Tetapi kini hutan itu tinggal cerita. Konon, hutan itu habis oleh penjarahan, atau oleh aksi penebangan yang dilakukan warga sekitar. Saya punya catatan khusus tentang hutan itu, dan bagaimana orang-orang dusun itu memanfaatkan kayu-kayunya dengan cara-cara ilegal. Saya akan menyisipkan cerita itu di bagian dari tulisan ini.
Orang-orang di dusun itu sebagian kecil adalah pemilik tanah, dan sebagian lagi buruh tani. Mereka hidup dari membantu proses penanaman dan pemanenan. Kata seorang teman, pada saat jeda antara waktu setelah musim tanam dan menunggu musim panen, biasanya, penduduk dusun kehilangan kesempatan bekerja. Mereka kebanyakan menganggur.
Kesempatan itu digunakan untuk mencari pekerjaan lain, antara lain dengan pergi merantau ke Jakarta. Tidak sedikit dari warga, terutama anak mudanya, di dusun itu yang pergi ke Jakarta, menjadi kuli bangunan, atau berdagang usaha kecil.
Kebanyakan anak-anak muda yang saya kenal di dusun itu memiliki tingkat pendidikan setara sekolah menengah. Sebagian banyak meniti jalur pendidikan melalui jalur pesantren, dengan mengaji. Sedikit dari yang beruntung dapat melanjutkan hingga ke perguruan tinggi.
Rotasi hidup sehari-hari warga dusun berkisar di antara tempat kerja (sawah), tempat ibadah (masjid), tempat tinggal (rumah) dan tempat pengajian (forum-forum pengajian).
Di dusun terpencil, pekerjaan sangat sulit. Satu-satunya pasar yang terkenal tempat transaksi terletak di Wirosari, setengah jam perjalanan dengan kendaraan dari dusun itu.
Kita bisa dengan sangat mudah membaca wajah kemiskinan dan sulitnya pekerjaan layak di dusun itu. Anak-anak muda sebagian banyak adalah pengangguran. Sebagian mereka putus dari bangku sekolah atas alasan tiadanya biaya.
Warga dusun, atau anak-anak muda di dusun itu, biasanya merasa sangat memerlukan uang pada saat-saat menjelang Lebaran. Pertama, uang itu diperlukan untuk membeli pakaian baru, kemudian kedua, uang itu mereka perlukan untuk kunjungan ziarah ke tempat-tempat suci, atau ke rumah para kiai yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Lebaran adalah hari di mana tingkat konsumsi dan kebutuhan perjalanan orang-orang dusun itu meningkat drastis. Desakan kebutuhan itulah yang seringkali memaksa anak-anak muda mencari cara-cara melawan hukum, namun dengan konsekuensi yang membuat mereka tidak dapat dijerat baik oleh hukum, maupun oleh pandangan cela dari masyarakat.
***
Pada suatu malam menjelang Lebaran, di tahun 2000, di sebuah masjid di dusun itu, berkumpul beberapa anak muda. Mereka membicarakan kesulitan-kesulitan keuangan menghadapi hari Lebaran. Beruntung bahwa tiga kilometer di utara dusun masih ada hutan jati. Mereka merencanakan akan menebang satu batang pohon untuk dijual sebagai bekal Lebaran.
Di malam berikutnya, setelah bersantap sahur, kira-kira pukul tiga dinihari, beberapa anak muda itu berjalan kaki mendekat ke hutan, mereka bermaksud melaksanakan rencana-rencana yang sudah mereka bicarakan. Dua dari mereka membawa senjata tajam, dan tali.
Hawa dingin tidak mereka hiraukan. Langit yang terang membantu mereka melihat jalan-jalan setapak tanpa menggunakan penerang, dan dengan begitu memungkinkan petugas keamanan hutan tidak dapat mengetahui keberadaan mereka.
Dua jam aksi itu berjalan. Pada pukul lima pagi setelah kokok ayam terdengar riuh, dan setelah orang-orang turun dari masjid menunaikan ibadah subuh, satu gelondongan kayu telah sampai di dusun. Rupanya mereka memanfaatkan kalen di tengah dusun untuk memudahkan mereka mengirim gelondongan kayu itu sampai ke dusun.
Setelah ditebang dan diseret keluar hutan, gelondongan jati dihanyutkan di kalen hingga sampai ke dusun.
Pagi itu, pecahlah suara riuh anak-anak muda yang kegirangan mendapati hasil kerja mereka yang sempurna. Satu gelondongan kayu jati akan mereka jual sekitar Rp 150 - 200 ribu. Suatu jumlah yang lumayan banyak waktu itu.
***
(to be continued)
Saya mengenal beberapa tetangga, dan orang-orang di dusun itu. Kang Latif, Kang Munif, Kang Dul Kalim dan beberapa nama lain lagi. Saya juga mengenal para pemilik tangan terampil untuk urusan urut tubuh. Ada Mbah Sulis, ibu dari Kang Latif, dan yang kemarin saya kenal Lek To (Suminto).
Hal lain yang saya bayangkan jika saya berkunjung ke dusun itu adalah soal urut tubuh. Maklum, lelah di jalan membuat badan terasa pegal. Saya selalu menanyakan keberadaan mereka, apakah mereka sedia meluangkan waktu untuk memijat.
Memijat adalah pekerjaan sampingan sebagian kecil warga di dusun itu, di samping profesi mereka sebagai buruh tani. Tak semua orang bisa menekuni profesi ini. Mbah Sulis adalah satu dari yang sedikit itu. Dia termasuk ahli dalam bidangnya, terutama untuk pijat salah urat di bagian perut.
Saya sudah lama merasa punya gangguan di bagian perut, entah itu penyakit maag atau salah urat. Dulu, mbah Sulis pernah menangani sakit saya. Dia bilang bahwa urat-urat di perut saya berada tidak pada posisinya, kemungkinan disebabkan oleh salah duduk atau kurang bergerak. Itu kesimpulan mbah Sulis.
Saya pernah merasakan bagaimana kepintaran tangan mbah Sulis "mendandani" posisi urat di bagian perut saya yang katanya "salah posisi". Luar biasa terampilnya. Air mata saya sampai keluar menahan sakit di bagian perut saat proses pemijatan itu.
Mbah Sulis juga banyak menangani penyakit-penyakit bayi. Orang-orang dusun yang tidak tahu bagaimana merawat bayi mereka yang terserang penyakit, memilih mendatangi rumah mbah Sulis.
Dari profesi sampingannya ini, Mbah Sulis mendapat imbalan sadakah berupa beras, gula atau beberapa lembar rupiah.
***
Lek To adalah nama baru yang saya kenal punya keahlian memijat di dusun itu. Kemarin saya memintanya untuk memijat saya. Bakat sebagai pemijat dia warisi dari mbah buyut tiga generasi di atasnya.
"Kakek buyut saya bekerja sebagai tukang pijat. Saya mewarisi keahlian bawaan mereka. Dulu saya pernah meminta ilmu (bacaan mantra) kepada buyut saya. Tapi dia bilang belum waktunya. Hingga dia meninggal, ilmunya tidak sempat diturunkan. Namun bekas bakat bawaan dia tetap saya warisi," kata Lek To kepada saya dalam bahasa Jawa, di sela-sela mengurut badan saya.
Lek To juga adalah seorang buruh tani. Sekarang ini sedang musim panen. Dia datang memenuhi permintaan saya sepulang dari sawah. Menjadi pemijat adalah pekerjaan sampingannya. (to be continued)
*Ditulis di wisma UKSW Salatiga.
Kali pertama saya ke dusun itu pada tahun 1999 petang menjelang puasa. Kemudian berturut-turut di tahun-tahun selanjutnya. Kemudian di hari saat kawan saya meninggal di tahun 2005 silam. Dan kali ini merupakan kali kedua kunjungan saya setelah rekan saya itu tiada.
Saya mengenal beberapa orang yang tinggal di dusun itu, sebagaimana saya juga mengenal sedikit topografi wilayah itu. Di sebelah barat dusun itu mengalir sebuah kali yang airnya berasal dari sumber mataair jauh di utara dusun. Dusun itu juga dibelah oleh jalan di bagian timurnya, dan di sisi jalan itu mengalir kali kecil (orang kampung menamainya, kalen).
Di timur dusun itu adalah bentangan sawah yang luas. Dulu, jauh memandang ke timur bentangan sawah di timur dusun, pandangan mata kita dibatasi oleh deretan pohon jati yang memanjang dari utara ke selatan. Di utara dusun itu rupanya terdapat hutan jati dengan hewan berupa monyet-monyet.
Saya pernah diajak pada sebuah kesempatan, kira-kira setelah Lebaran di tahun 2002, untuk menyaksikan dari dekat hutan di utara dusun itu, meski waktu itu saya tidak melihat dari jarak yang cukup dekat. Hutan jati itu cukup gelap, menandakan bahwa area hutan cukup luas.
Tetapi kini hutan itu tinggal cerita. Konon, hutan itu habis oleh penjarahan, atau oleh aksi penebangan yang dilakukan warga sekitar. Saya punya catatan khusus tentang hutan itu, dan bagaimana orang-orang dusun itu memanfaatkan kayu-kayunya dengan cara-cara ilegal. Saya akan menyisipkan cerita itu di bagian dari tulisan ini.
Orang-orang di dusun itu sebagian kecil adalah pemilik tanah, dan sebagian lagi buruh tani. Mereka hidup dari membantu proses penanaman dan pemanenan. Kata seorang teman, pada saat jeda antara waktu setelah musim tanam dan menunggu musim panen, biasanya, penduduk dusun kehilangan kesempatan bekerja. Mereka kebanyakan menganggur.
Kesempatan itu digunakan untuk mencari pekerjaan lain, antara lain dengan pergi merantau ke Jakarta. Tidak sedikit dari warga, terutama anak mudanya, di dusun itu yang pergi ke Jakarta, menjadi kuli bangunan, atau berdagang usaha kecil.
Kebanyakan anak-anak muda yang saya kenal di dusun itu memiliki tingkat pendidikan setara sekolah menengah. Sebagian banyak meniti jalur pendidikan melalui jalur pesantren, dengan mengaji. Sedikit dari yang beruntung dapat melanjutkan hingga ke perguruan tinggi.
Rotasi hidup sehari-hari warga dusun berkisar di antara tempat kerja (sawah), tempat ibadah (masjid), tempat tinggal (rumah) dan tempat pengajian (forum-forum pengajian).
Di dusun terpencil, pekerjaan sangat sulit. Satu-satunya pasar yang terkenal tempat transaksi terletak di Wirosari, setengah jam perjalanan dengan kendaraan dari dusun itu.
Kita bisa dengan sangat mudah membaca wajah kemiskinan dan sulitnya pekerjaan layak di dusun itu. Anak-anak muda sebagian banyak adalah pengangguran. Sebagian mereka putus dari bangku sekolah atas alasan tiadanya biaya.
Warga dusun, atau anak-anak muda di dusun itu, biasanya merasa sangat memerlukan uang pada saat-saat menjelang Lebaran. Pertama, uang itu diperlukan untuk membeli pakaian baru, kemudian kedua, uang itu mereka perlukan untuk kunjungan ziarah ke tempat-tempat suci, atau ke rumah para kiai yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Lebaran adalah hari di mana tingkat konsumsi dan kebutuhan perjalanan orang-orang dusun itu meningkat drastis. Desakan kebutuhan itulah yang seringkali memaksa anak-anak muda mencari cara-cara melawan hukum, namun dengan konsekuensi yang membuat mereka tidak dapat dijerat baik oleh hukum, maupun oleh pandangan cela dari masyarakat.
***
Pada suatu malam menjelang Lebaran, di tahun 2000, di sebuah masjid di dusun itu, berkumpul beberapa anak muda. Mereka membicarakan kesulitan-kesulitan keuangan menghadapi hari Lebaran. Beruntung bahwa tiga kilometer di utara dusun masih ada hutan jati. Mereka merencanakan akan menebang satu batang pohon untuk dijual sebagai bekal Lebaran.
Di malam berikutnya, setelah bersantap sahur, kira-kira pukul tiga dinihari, beberapa anak muda itu berjalan kaki mendekat ke hutan, mereka bermaksud melaksanakan rencana-rencana yang sudah mereka bicarakan. Dua dari mereka membawa senjata tajam, dan tali.
Hawa dingin tidak mereka hiraukan. Langit yang terang membantu mereka melihat jalan-jalan setapak tanpa menggunakan penerang, dan dengan begitu memungkinkan petugas keamanan hutan tidak dapat mengetahui keberadaan mereka.
Dua jam aksi itu berjalan. Pada pukul lima pagi setelah kokok ayam terdengar riuh, dan setelah orang-orang turun dari masjid menunaikan ibadah subuh, satu gelondongan kayu telah sampai di dusun. Rupanya mereka memanfaatkan kalen di tengah dusun untuk memudahkan mereka mengirim gelondongan kayu itu sampai ke dusun.
Setelah ditebang dan diseret keluar hutan, gelondongan jati dihanyutkan di kalen hingga sampai ke dusun.
Pagi itu, pecahlah suara riuh anak-anak muda yang kegirangan mendapati hasil kerja mereka yang sempurna. Satu gelondongan kayu jati akan mereka jual sekitar Rp 150 - 200 ribu. Suatu jumlah yang lumayan banyak waktu itu.
***
(to be continued)
Saya mengenal beberapa tetangga, dan orang-orang di dusun itu. Kang Latif, Kang Munif, Kang Dul Kalim dan beberapa nama lain lagi. Saya juga mengenal para pemilik tangan terampil untuk urusan urut tubuh. Ada Mbah Sulis, ibu dari Kang Latif, dan yang kemarin saya kenal Lek To (Suminto).
Hal lain yang saya bayangkan jika saya berkunjung ke dusun itu adalah soal urut tubuh. Maklum, lelah di jalan membuat badan terasa pegal. Saya selalu menanyakan keberadaan mereka, apakah mereka sedia meluangkan waktu untuk memijat.
Memijat adalah pekerjaan sampingan sebagian kecil warga di dusun itu, di samping profesi mereka sebagai buruh tani. Tak semua orang bisa menekuni profesi ini. Mbah Sulis adalah satu dari yang sedikit itu. Dia termasuk ahli dalam bidangnya, terutama untuk pijat salah urat di bagian perut.
Saya sudah lama merasa punya gangguan di bagian perut, entah itu penyakit maag atau salah urat. Dulu, mbah Sulis pernah menangani sakit saya. Dia bilang bahwa urat-urat di perut saya berada tidak pada posisinya, kemungkinan disebabkan oleh salah duduk atau kurang bergerak. Itu kesimpulan mbah Sulis.
Saya pernah merasakan bagaimana kepintaran tangan mbah Sulis "mendandani" posisi urat di bagian perut saya yang katanya "salah posisi". Luar biasa terampilnya. Air mata saya sampai keluar menahan sakit di bagian perut saat proses pemijatan itu.
Mbah Sulis juga banyak menangani penyakit-penyakit bayi. Orang-orang dusun yang tidak tahu bagaimana merawat bayi mereka yang terserang penyakit, memilih mendatangi rumah mbah Sulis.
Dari profesi sampingannya ini, Mbah Sulis mendapat imbalan sadakah berupa beras, gula atau beberapa lembar rupiah.
***
Lek To adalah nama baru yang saya kenal punya keahlian memijat di dusun itu. Kemarin saya memintanya untuk memijat saya. Bakat sebagai pemijat dia warisi dari mbah buyut tiga generasi di atasnya.
"Kakek buyut saya bekerja sebagai tukang pijat. Saya mewarisi keahlian bawaan mereka. Dulu saya pernah meminta ilmu (bacaan mantra) kepada buyut saya. Tapi dia bilang belum waktunya. Hingga dia meninggal, ilmunya tidak sempat diturunkan. Namun bekas bakat bawaan dia tetap saya warisi," kata Lek To kepada saya dalam bahasa Jawa, di sela-sela mengurut badan saya.
Lek To juga adalah seorang buruh tani. Sekarang ini sedang musim panen. Dia datang memenuhi permintaan saya sepulang dari sawah. Menjadi pemijat adalah pekerjaan sampingannya. (to be continued)
*Ditulis di wisma UKSW Salatiga.
Komentar