Manohara Odelia Pinot tengah menjadi buah bibir. Kepulangannya ke Indonesia melalui sebuah proses dramatis melibatkan campur tangan agen rahasia AS, FBI, dan kepolisian Singapura. Di atas pesawat Garuda yang membawanya terbang dari Bandara Changi Singapura menuju tanah air, raut muka Manohara tidak bisa menyimpan keceriaan hatinya tiada tara, dengan kegembiraan seseorang yang baru saja lolos dari “sarang penyamun”.
Setiba di tanah air, gadis mantan model itu menjadi pusat sorotan media yang ingin mengeruk ‘kebenaran’ tentang kisah sebenarnya mengenai derita yang dia alami selama menjadi pendamping putra keluarga kerajaan Negara Bagian Kelantan, Malaysia, Tengku Fakhry.
Dikabarkan, gadis blasteran dari ibu, Daisy Fajarina, kebangsaan Bugis dan ayah Reiner Pinot Noack dari Prancis itu, mendapat perlakuan tidak semestinya dari sang suami. Ia mengaku pernah disiksa, dengan distrika, disulut sigar (rokok) di bagian dahi, dan mengaku masih menyimpan sejumlah bekas sisa sayatan di beberapa bagian dari tubuhnya yang tak tampak.
“Saya tak dianggap sebagai laiknya seorang Princess (ratu) di tengah keluarga kerajaan. Saya sering tinggal di kamar yang terkunci,” kata Mano yang berbicara dalam bahasa campuran Indonesia-rada melayu dan Inggris itu kepada media di tanah air.
Jika benar segala testimoni yang dibuat Mano tentang perlakuan kasar suaminya, kalau benar ia pernah distrika, kalau benar ia pernah disulut sigar, dan kalau benar berdasar hasil visum bahwa luka-luka di tubuhnya merupakan hasil dari sebuah tindakan kekerasan fisik, maka tentu persoalan ini tak harus dipandang sebagai semata urusan privasi keluarga, melainkan persoalan yang menuntut peran negara dalam penanganannya.
Kekerasan suami terhadap isteri memiliki delik hukum yang diatur dalam undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Keberadaan UU ini merupakan bukti campur tangan negara (urusan publik) di wilayah domestik rumah tangga.
Berangkat dari kebenaran cerita Manohara (sekali lagi jika itu benar) persoalan ini tentu tidak bisa berhenti dibaca sebagai sebuah kisah kekerasan suami terhadap isteri. Dua sejoli yang beda status warga negara itu dipisahkan oleh kutub ”Bangsa Melayu” dan ”Indon” (sebutan untuk orang Indonesia di Malaysia).
Hubungan dua negara tetangga serumpun ini telah lama mengalami pasang surut. Semenjak Presiden RI pertama Soekarno yang mengeluarkan kebijakan konfrontasi ”Ganyang Malaysia”, konflik perebutan teritori pulau Sipadan dan Ligitan, hingga persoalan status tenaga kerja.
Malaysia yang menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi yang jauh melewati bangsa serumpunnya, dan menjadi magnet tujuan ribuan para pencari kerja sektor jasa dari tanah air, perlahan-lahan menumbuhkan rasa ”jumawa” sebagai bangsa yang lebih.
Lahirlah dikotomi ”Melayu” dan ”Indon”, Melayu yang lebih beradab dan Indon sebagai bangsa pendatang dan kaum kuli. Entah sudah tak terbilang kisah tentang perlakuan kasar sang majikan kepada pembantu rumah tangga Indon. Sudah tak terbilang berapa kali pemerintah negara Malaysia ’mengusir’ para pendatang ilegal yang sebagian besar berasal dari Indonesia.
Citra kaum Indon sebagai bangsa kurang beradab, tidak tahu aturan karena sering datang tanpa kelengkapan ”permit”, kian kental dalam benak Bangsa Melayu. Kaum Indon adalah kaum tertinggal, negara dengan pemerintahan yang gagal menciptakan lapangan pekerjaan bagi jutaan rakyatnya, sehingga harus memaksa diri menjadi perantau di negeri tetangga yang lebih kaya.
Di satu sisi, citra negeri kaya ringgit itu di mata bangsa kita bisa dilihat dari sejumlah ekspresi kultural yang kita tunjukkan sendiri. Tengoklah syair-syair lagu daerah di kawasan-kawsan tertinggal di negara ini. Betapa banyak kaum perempuan yang tinggal sendiri lantaran sang suami merantau ke ”Malaysia”, betapa dalam penderitaan isteri lantaran sikap suami yang memaksa menjual maskawin sebagai bekal memburu ringgit. Ini hanya sisi kecil ekspresi kultural yang bisa dijadikan jalan untuk melihat kekuatan pamor negara tetangga itu di mata bangsa kita.
Kalau benar testimoni Manohara tentang kekerasan yang dideritanya, kekerasan itu dilakukan bukan lagi dalam posisi Tengku Fakhry sebagai suami dan Mano sebagai isteri. Kekerasan itu lahir dari hasrat ”merasa melebihi” bangsa Melayu terhadap Indon. Di hadapan Tengku Fakhry, posisi Mano tak lebih dari hanya seorang dengan latar belakang bangsa Indon dengan segala stereotype-nya; kaum pendatang, bangsa kuli yang bisa diperlakukan sebagaimana para majikan di sana memperlakukan ‘budak Indon’ mereka.
Setiba di tanah air, gadis mantan model itu menjadi pusat sorotan media yang ingin mengeruk ‘kebenaran’ tentang kisah sebenarnya mengenai derita yang dia alami selama menjadi pendamping putra keluarga kerajaan Negara Bagian Kelantan, Malaysia, Tengku Fakhry.
Dikabarkan, gadis blasteran dari ibu, Daisy Fajarina, kebangsaan Bugis dan ayah Reiner Pinot Noack dari Prancis itu, mendapat perlakuan tidak semestinya dari sang suami. Ia mengaku pernah disiksa, dengan distrika, disulut sigar (rokok) di bagian dahi, dan mengaku masih menyimpan sejumlah bekas sisa sayatan di beberapa bagian dari tubuhnya yang tak tampak.
“Saya tak dianggap sebagai laiknya seorang Princess (ratu) di tengah keluarga kerajaan. Saya sering tinggal di kamar yang terkunci,” kata Mano yang berbicara dalam bahasa campuran Indonesia-rada melayu dan Inggris itu kepada media di tanah air.
Jika benar segala testimoni yang dibuat Mano tentang perlakuan kasar suaminya, kalau benar ia pernah distrika, kalau benar ia pernah disulut sigar, dan kalau benar berdasar hasil visum bahwa luka-luka di tubuhnya merupakan hasil dari sebuah tindakan kekerasan fisik, maka tentu persoalan ini tak harus dipandang sebagai semata urusan privasi keluarga, melainkan persoalan yang menuntut peran negara dalam penanganannya.
Kekerasan suami terhadap isteri memiliki delik hukum yang diatur dalam undang-undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Keberadaan UU ini merupakan bukti campur tangan negara (urusan publik) di wilayah domestik rumah tangga.
Berangkat dari kebenaran cerita Manohara (sekali lagi jika itu benar) persoalan ini tentu tidak bisa berhenti dibaca sebagai sebuah kisah kekerasan suami terhadap isteri. Dua sejoli yang beda status warga negara itu dipisahkan oleh kutub ”Bangsa Melayu” dan ”Indon” (sebutan untuk orang Indonesia di Malaysia).
Hubungan dua negara tetangga serumpun ini telah lama mengalami pasang surut. Semenjak Presiden RI pertama Soekarno yang mengeluarkan kebijakan konfrontasi ”Ganyang Malaysia”, konflik perebutan teritori pulau Sipadan dan Ligitan, hingga persoalan status tenaga kerja.
Malaysia yang menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi yang jauh melewati bangsa serumpunnya, dan menjadi magnet tujuan ribuan para pencari kerja sektor jasa dari tanah air, perlahan-lahan menumbuhkan rasa ”jumawa” sebagai bangsa yang lebih.
Lahirlah dikotomi ”Melayu” dan ”Indon”, Melayu yang lebih beradab dan Indon sebagai bangsa pendatang dan kaum kuli. Entah sudah tak terbilang kisah tentang perlakuan kasar sang majikan kepada pembantu rumah tangga Indon. Sudah tak terbilang berapa kali pemerintah negara Malaysia ’mengusir’ para pendatang ilegal yang sebagian besar berasal dari Indonesia.
Citra kaum Indon sebagai bangsa kurang beradab, tidak tahu aturan karena sering datang tanpa kelengkapan ”permit”, kian kental dalam benak Bangsa Melayu. Kaum Indon adalah kaum tertinggal, negara dengan pemerintahan yang gagal menciptakan lapangan pekerjaan bagi jutaan rakyatnya, sehingga harus memaksa diri menjadi perantau di negeri tetangga yang lebih kaya.
Di satu sisi, citra negeri kaya ringgit itu di mata bangsa kita bisa dilihat dari sejumlah ekspresi kultural yang kita tunjukkan sendiri. Tengoklah syair-syair lagu daerah di kawasan-kawsan tertinggal di negara ini. Betapa banyak kaum perempuan yang tinggal sendiri lantaran sang suami merantau ke ”Malaysia”, betapa dalam penderitaan isteri lantaran sikap suami yang memaksa menjual maskawin sebagai bekal memburu ringgit. Ini hanya sisi kecil ekspresi kultural yang bisa dijadikan jalan untuk melihat kekuatan pamor negara tetangga itu di mata bangsa kita.
Kalau benar testimoni Manohara tentang kekerasan yang dideritanya, kekerasan itu dilakukan bukan lagi dalam posisi Tengku Fakhry sebagai suami dan Mano sebagai isteri. Kekerasan itu lahir dari hasrat ”merasa melebihi” bangsa Melayu terhadap Indon. Di hadapan Tengku Fakhry, posisi Mano tak lebih dari hanya seorang dengan latar belakang bangsa Indon dengan segala stereotype-nya; kaum pendatang, bangsa kuli yang bisa diperlakukan sebagaimana para majikan di sana memperlakukan ‘budak Indon’ mereka.
Komentar