JAKARTA akhir Mei.
Mata saya sulit terpejam, meski malam telah jauh. Jarum jam tepat 02 dini hari. Sebuah film terakhir yang saya tonton di layar tv berlangganan (HBO), Letters from Iwo Jima (Io Jima Kara no Tegami ) besutan Clint Eastwood, mengakhiri Sabtu malam yang sepi di tempat ini.
Di mess Tebet Timur, tinggal saya dan Pak Edi Wirya. Beberapa jam lalu Bung Santoros sudah berada di kereta yang membawanya ke Solo. Roma Andero, seorang OB yang belakangan dididik menjadi calon wartawan muda bidang olahraga, sejak pagi sudah tidak menampakkan wajah. Sejak malam kemarin, tak ada lagi rekan-rekan wartawan yang datang kemari. Saya sendiri sudah memesan tiket untuk keberangkatan ke Yogya Minggu malam nanti.
Mess ini tiba-tiba berubah menjadi seolah-olah seperti kuburan tua yang jarang dikunjungi. Di sini hanya ada pembicaraan saya dengan Pak Edi, pensiunan pegawai Antara yang direkrut kembali belum lama ini untuk bergabung di anak perusahaan di mana kami bertugas. Saya menghisap berbatang-batang rokok. Kebiasaan yang jarang saya lakukan, kecuali dalam suasana hati yang terbelah.
Terhitung 30 Mei, anak perusahaan bernama ”kp.com untuk layanan publik” secara resmi diambilalih sepenuhnya oleh perusahaan induk. Sebulan sebelumnya, sebanyak 90 kontributor seluruh Indonesia dan lima penyunting berita, dinonaktifkan. Persoalan klasik terkait dana operasional yang tak jelas perhitungannya, menjadi alasan mendasar mengapa anak perusahaan ini haru ”dishut-down.”
Saya memahami keputusan manajemen mengambil kebijakan ini. Saya menerimanya, meski banyak hal yang tidak kami ketahui, dan memang tak diperkenankan untuk diketahui.
Pertemuan terakhir antara kami dan manajemen berlangsung di Cippes Seafod and Steak Tebet, Jumat (29/5) malam lalu, di tengah sebuah perjamuan makan malam mewah, namun dengan suasana muram dan dingin.
Apapun alasan verbal pihak manajemen soal pengambilalihan ini, saya memakluminya. Meski saya dan rekan-rekan harus menyayangkan keputusan yang tiba-tiba itu. Pada kesempatan berbicara di sela ”perjamuan terakhir” itu, pada intinya saya katakan ”Kita telah mengambil keputusan sebelum momentumnya. Sebuah tindakan harakiri yang konyol.”
Tetapi saya tidak bisa mengatakan lebih banyak dari itu. Tidak perlu. ”Kita tidak kalah sebelum peperangan. Kita sudah berjuang tetapi kehabisan perbekalan,” begitulah jawaban manajemen yang menghibur kami. Saya memaklumi ini semua.
***
Malam kian larut, saya memaksa agar mata saya pejam, tetapi pikiran saya tidak mau berhenti. Saya memaksa agar naluri yang bisa menerbitkan air mata dapat bekerja, agar air mata bisa mengalir, tetapi nihil. Saya tidak bisa menangis. Sebuah panggilan aneh dari palung hati saya mengatakan, ”tidakkah kau saksikan perjuangan serdadu jepang yang habis-habisan mempertahankan Pulau Iwo Jima??”
Aha! Ya, saya baru saja usai menonton film yang dibintangi Ken Watanabe dan Kazunari Ninomiya itu. Saya menontonnya tanpa menoleh. Saya berpikir, saya menonton film ini pada saat yang tepat. Pada saat nyali ”bertempur” saya sedang goyah.
Film itu menggambarkan heroisme serdadu kekaisaran Dai Nippon, yang terjebak di sebuah benteng di sebuah pulau "Iwo Jima". Mereka hanya dihadapkan kepada pilihan, "Harus mati demi nama besar kaisar."
Menyimak film ini, pikiran saya teringat kepada sebuah buku karya PK Ojong yang berasal dari kompilasi artikel seputar gegar Perang Pasifik. Saya membaca buku ini kira-kira lima tahun lalu. Tak jauh beda dari film Iwo Jima, buku Perang Pasifik menceritakan bagian-bagian dari heroisme serdadu Dai Nippon.
***
Beberapa hari sebelum kp.com dinyatakan resmi dikubur, saya telah diminta untuk bergabung di portaltiga.com, sebuah unit usaha mandiri yang tengah dirintis rekan-rekan wartawan muda idealis. Sebuah portal berita berbasis foto jurnalistik. Saya menerima tawaran itu dengan senang hati, semata-mata karena saya menyukai pekerjaan ini.
Dengan semangat ”banzai” apa mau dikata. Di depan hanya tantangan, dan semua kita dihadapkan kepada pilihan; menerima tantangan atau surut.
***
Hal lain lagi yang saya pikirkan adalah mengenai kelanjutan akhir studi saya. Karena itu, saya memilih untuk kembali ke Yogya terlebih dahulu, menyelesaikan tugas-tugas yang harus saya selesaikan.. Dalam kondisi yang terbelah, saya berharap Yogya akan menjadi tempat di mana kelelahan pikiran dapat dipulihkan.
Mata saya sudah lelah... sayo na ara Jakarta...
Mata saya sulit terpejam, meski malam telah jauh. Jarum jam tepat 02 dini hari. Sebuah film terakhir yang saya tonton di layar tv berlangganan (HBO), Letters from Iwo Jima (Io Jima Kara no Tegami ) besutan Clint Eastwood, mengakhiri Sabtu malam yang sepi di tempat ini.
Di mess Tebet Timur, tinggal saya dan Pak Edi Wirya. Beberapa jam lalu Bung Santoros sudah berada di kereta yang membawanya ke Solo. Roma Andero, seorang OB yang belakangan dididik menjadi calon wartawan muda bidang olahraga, sejak pagi sudah tidak menampakkan wajah. Sejak malam kemarin, tak ada lagi rekan-rekan wartawan yang datang kemari. Saya sendiri sudah memesan tiket untuk keberangkatan ke Yogya Minggu malam nanti.
Mess ini tiba-tiba berubah menjadi seolah-olah seperti kuburan tua yang jarang dikunjungi. Di sini hanya ada pembicaraan saya dengan Pak Edi, pensiunan pegawai Antara yang direkrut kembali belum lama ini untuk bergabung di anak perusahaan di mana kami bertugas. Saya menghisap berbatang-batang rokok. Kebiasaan yang jarang saya lakukan, kecuali dalam suasana hati yang terbelah.
Terhitung 30 Mei, anak perusahaan bernama ”kp.com untuk layanan publik” secara resmi diambilalih sepenuhnya oleh perusahaan induk. Sebulan sebelumnya, sebanyak 90 kontributor seluruh Indonesia dan lima penyunting berita, dinonaktifkan. Persoalan klasik terkait dana operasional yang tak jelas perhitungannya, menjadi alasan mendasar mengapa anak perusahaan ini haru ”dishut-down.”
Saya memahami keputusan manajemen mengambil kebijakan ini. Saya menerimanya, meski banyak hal yang tidak kami ketahui, dan memang tak diperkenankan untuk diketahui.
Pertemuan terakhir antara kami dan manajemen berlangsung di Cippes Seafod and Steak Tebet, Jumat (29/5) malam lalu, di tengah sebuah perjamuan makan malam mewah, namun dengan suasana muram dan dingin.
Apapun alasan verbal pihak manajemen soal pengambilalihan ini, saya memakluminya. Meski saya dan rekan-rekan harus menyayangkan keputusan yang tiba-tiba itu. Pada kesempatan berbicara di sela ”perjamuan terakhir” itu, pada intinya saya katakan ”Kita telah mengambil keputusan sebelum momentumnya. Sebuah tindakan harakiri yang konyol.”
Tetapi saya tidak bisa mengatakan lebih banyak dari itu. Tidak perlu. ”Kita tidak kalah sebelum peperangan. Kita sudah berjuang tetapi kehabisan perbekalan,” begitulah jawaban manajemen yang menghibur kami. Saya memaklumi ini semua.
***
Malam kian larut, saya memaksa agar mata saya pejam, tetapi pikiran saya tidak mau berhenti. Saya memaksa agar naluri yang bisa menerbitkan air mata dapat bekerja, agar air mata bisa mengalir, tetapi nihil. Saya tidak bisa menangis. Sebuah panggilan aneh dari palung hati saya mengatakan, ”tidakkah kau saksikan perjuangan serdadu jepang yang habis-habisan mempertahankan Pulau Iwo Jima??”
Aha! Ya, saya baru saja usai menonton film yang dibintangi Ken Watanabe dan Kazunari Ninomiya itu. Saya menontonnya tanpa menoleh. Saya berpikir, saya menonton film ini pada saat yang tepat. Pada saat nyali ”bertempur” saya sedang goyah.
Film itu menggambarkan heroisme serdadu kekaisaran Dai Nippon, yang terjebak di sebuah benteng di sebuah pulau "Iwo Jima". Mereka hanya dihadapkan kepada pilihan, "Harus mati demi nama besar kaisar."
Menyimak film ini, pikiran saya teringat kepada sebuah buku karya PK Ojong yang berasal dari kompilasi artikel seputar gegar Perang Pasifik. Saya membaca buku ini kira-kira lima tahun lalu. Tak jauh beda dari film Iwo Jima, buku Perang Pasifik menceritakan bagian-bagian dari heroisme serdadu Dai Nippon.
***
Beberapa hari sebelum kp.com dinyatakan resmi dikubur, saya telah diminta untuk bergabung di portaltiga.com, sebuah unit usaha mandiri yang tengah dirintis rekan-rekan wartawan muda idealis. Sebuah portal berita berbasis foto jurnalistik. Saya menerima tawaran itu dengan senang hati, semata-mata karena saya menyukai pekerjaan ini.
Dengan semangat ”banzai” apa mau dikata. Di depan hanya tantangan, dan semua kita dihadapkan kepada pilihan; menerima tantangan atau surut.
***
Hal lain lagi yang saya pikirkan adalah mengenai kelanjutan akhir studi saya. Karena itu, saya memilih untuk kembali ke Yogya terlebih dahulu, menyelesaikan tugas-tugas yang harus saya selesaikan.. Dalam kondisi yang terbelah, saya berharap Yogya akan menjadi tempat di mana kelelahan pikiran dapat dipulihkan.
Mata saya sudah lelah... sayo na ara Jakarta...
Komentar