Langsung ke konten utama

10 Hari di Yogya

"Sepuluh hari terasa begitu singkat, " kata saya kepada seorang kawan yang menemani ke Stasiun Tugu Selasa (12/5) sore kemarin, sewaktu memesan tiket kereta untuk keberangkatan ke Jakarta.

Saya tiba di Yogya pada Minggu pagi, 3 Mei lalu, untuk suatu keperluan mengurus tugas akhir kuliah yang belum finish. Waktu yang saya minta hanya 10 hari. Saya datang dengan membawa berkas print out tugas akhir.

Pada Senin pagi, 14 Mei, saya ke kampus dan bertemu kawan lama satu kelas, Hagung Hendrawan. Saya juga bertemu asisten pembimbing satu saya, mbak Devi Ardiani.
Sebelumnya, kami sudah saling kontak dan membuat appointment untuk ketemu di kampus.

Pembicaraan kami berkisar masalah yang ringan-ringan. Saya juga bertemu Pak Tri, eks dosen saya sewaktu masih mengambil teori dulu. Saya juga bertemu mbak Hengki, sekertaris jurusan.

Hari itu, saya berniat bertemu pembimbing satu, Pak Sunardi dan pembimbin dua, mbak Katrin. Dua jam kemudian, saya bertemu Pak Nardi di ruang kerjanya. Pembicaraan kami tidaklah lama. Saya menceritakan latar belakang posisi saya sekarang, sebagai mahasiswa yang sudah tidak aktif lagi di kampus.

Keesokan hari, Selasa 5 Mei, saya ke kampus dan menyerahkan berkas tugas akhir kepada dua pembimbing saya, Pak Sunardi dan mbak Katrin. Saya diminta mempresentasikan tugas akhir di kelas seminar, Rabu 6 Mei.

Hari berikut, Rabu 6 Mei, di hadapan dua pembimbing dan asisten pembimbing saya, dosen tamu, Celia, teman-teman kuliah, Linda, Tia dan Hassan, saya mempresentasikan konten isi tugas akhir saya.

Saya berharap bahwa setelah ini, tidak ada suatu masukan yang dapat mengubah total arah bahasan tugas saya, sehingga saya tidak perlu lagi menghilang terlalu lama untuk mengerjakan perubahan tersebut.

Meski demikian, saya tetap berharap mendapat masukan-masukan berarti dari mereka. Inilah antara lain masukan dari mereka yang hadir di waktu presentasi.

Dari Katrin, saya mendapat masukan agar judul-judul artikel yang diambil dan menjadi catatan kaki, tidak ditulis miring, melainkan ditulis lurus dan diberi tanda kutip. Selebihnya, dia memberi masukan sekitar arah ke mana gerangan yang dimaui oleh pembahasan saya. Masukan ini cukup berarti buat saya.

Dari Devi saya disarankan jangan terlalu lama presentasi. Waktu yang dibutuhkan hanya 20 menit, bukan satu jam sebagaimana saya lakukan. Dia juga mengingatkan agar saya memperbaiki bagian tujuan dan manfaat penelitian yang menurutnya belum jelas betul.

Terakhir dari Pak Sunardi, masukan yang diberikan bersifat teoretis. "Bahasanmu ini sebetulnya mau mengukur kekuatan modal di dalam kemampuannya mempenetrasi rasa /taste." Kata Pak Nardi.

Berdasar data penelitian saya, dia menambahkan dengan mengutip Gramsci soal "penerimaan tanpa paksaan" (Hegemoni). Orang atau konsumen menerima logika-logika lembaga konsumsi tanpa suatu paksaan. Mereka tahu bahwa mereka dirugikan, tetapi mereka menerimanya.
Nah, kekuatan apakah yang bekerja sehingga hal ini dapat / mungkin terjadi.

Tugas peneliti budaya, kata Pak Nardi, ialah melihat proses penetrasi rasa yang ditimbulkan oleh lembaga-lembaga konsumsi. "Kalau selama ini orang gembar gembor meneriakkan tolak mall dan pasar moderen, mereka itu hanya ngomong dan tidak berdasar, hanya melihat hubungan dikotomis kapitalisme dan oposisi binernya. Maka apa yang kamu lakukan, sebetulnya mau menunjukkan (dari sisi kultural) alasan-alasan mengapa mall harus ditolak." kata Pak Nardi.

Masukan dari mereka sangatlah berarti. Tetapi tentu yang lebih berarti lagi bagi saya adalah kepastian mengenai hari dan tanggal, kapan tugas akhir saya harus diujikan.

Bulan Mei ini adalah bulan terakhir masa perkuliahan. Jatah kami untuk para angkatan 2005 juga akan berakhir di smester ini. Kami akan berstatus drop out jika dalam semester ini tidak selesai.

Lepas dari urusan kuliah, di rumah kos (Perkutut 12 Demangan), saya berusaha menghilangkan kejenuhan itu dengan sesekali pada malam hari ngerumpi bareng kawan-kawan. Sesekali juga kami masak mie instant bersama, atau bakar-bakar ikan dan bikin pop corn.

Kegiatan-kegiatan kecil ini sedikit banyak membantu meringankan pikiran dari beban tugas akhir kuliah yang nyaris selesai. Sepuluh hari di Yogya juga terasa singkat karenanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...