Langsung ke konten utama

tcf

Semalam saya menonton film Turtles Can Fly (TCF) di sebuah saluran televisi. Film ini dibuat tahun 2004 oleh sutradara berkebangsaan Kurdi, Bahman Ghobadi, setahun setelah kekuasaan Saddam Husein di Irak digulingkan.

Saluran TV itu tentu tahu alasan mengapa film TCF yang diangkat sebagai layar emas akhir pekan. Tema perang yang melatari kisah TCF relevan dengan fakta terkini, sengketa di belahan negara Timur Tengah antara Israel dan pejuang Hamas Palestina, yang telah menewaskan warga sipil terutama anak-anak dan kaum perempuan.

TCF sendiri berkisah tentang dampak dari kecamuk perang. Ghobadi berhasil menghadirkan fakta tentang korban kekerasan konflik politik kawasan. Ghobadi mengeksplorasi sisi paling banal dari fenomena kekerasan politik, manakala ia menampilkan kisah anak-anak yang dipaksa masuk ke dalam pusaran perang itu sendiri, dan meninggalkan keceriaan masa kanak-kanak mereka.

Sattelite (diperankan Soran Ebrahim), anak berusia 13 tahun, yang berperan menjadi ketua kelompok sekumpulan anak-anak Kurdi. Sebagian mereka cacat dan yatim.

Hampir dua puluh tahun lebih rezim Partai Ba'ats di bawah Saddam Husein berkuasa di Irak, dan sepanjang tahun itu pula konflik sektarian berlangsung antara orang-orang Kurdi dan etnis berkuasa; Sunni.

Sikap oposisi yang ditunjukkan etnis Kurdi yang tidak pernah padam, memaksa rezim mengerahkan dan menghalalkan jalan keji untuk menumpas mereka. Konflik itu bukan an-sich konflik politik, tetapi konflik politik yang juga dibumbui energi permusuhan sektarian Sunni-Kurdi.

Jadilah Saddam Husein dalam bayang-bayang anak-anak Kurdi ibarat monster menakutkan.

Konflik sektarian yang sesekali berujung pada penghilangan nyawa itu meninggalkan torehan trauma pada diri anak-anak, sekaligus efek banal dari kekerasan itu sendiri. Sattelite dan kawan-kawan seusianya membentuk kelompok pencari ranjau di padang gurun. Barang-barang berbahaya itu mereka kumpulkan untuk dijual di pasar, demi beroleh mata uang.

Pada diri Sattelite dan kawan-kawan pencari ranjau lainnya, Ghobadi menunjukkan apa yang tadi saya sebut sebagai contoh pemandangan dampak banalitas kekerasan.

Ketika memutuskan untuk menjadi pencari ranjau, anak-anak itu sebetulnya telah kehilangan sense rasa takut akan bahaya maut yang membayang-bayangi mereka.

Di samping Sattelite, ada tokoh lain yang dihadirkan Ghobadi dan mewakili contoh anak-anak yang menderita trauma kekerasan.

Adalah Agrin (diperankan Avaz Latif), seorang anak perempuan yang menjadi korban perkosaan tentara kaki tangan Saddam, diliputi rasa cemas yang dalam. Bayang-bayang traumatik menghantui hari-harinya.

Efek trauma itu membuatnya putus asa. Rasa putus asa itu pulalah yang mendorongnya untuk bersedia mengambil jalan keras dengan melakukan percobaan bunuh diri.

Sepintas film ini begitu meyakinkan kita akan apa itu dampak keberlanjutan dari yang namanya kekersan politik terhadap anak-anak.

Film ini sangat kontekstual dengan fakta saat ini, ketika anak-anak kembali disorot sebagai korban dalam konflik wilayah perbatasan antara militer Israel dan pejuang Hamas.

Tetapi segera kita akan dibuat kecewa, sebagaimana saya juga dibuat kecewa film ini. Sutradara Ghobadi lewat TCF memang ingin berpesan tentang perang yang membawa sengsara anak-anak.

Tetapi, sebagai seorang Kurdi, Ghobadi terbawa oleh hasrat 'balas dendam' atas rezim Saddam. Dalam TCF, ia menampilkan fragmen dokumenter saat patung besar miniatur pemimpin Irak yang berdiri di depan taman firdaus itu dirubuhkan. Sebelah tangan patung Saddam yang hancur itu diberikan kepada Sattelite oleh seorang anak kurdi yang mendapatkannya dari sang Paman.

"Ini tangan Saddam untukmu. Barangkali harganya akan jauh lebih mahal dari ranjau-ranjau itu," kata kawan dari Sattelite.

Kehadiran tentara Amerika ke Irak yang menumpas rezim Saddam, dianggap sebagai juru selamat.

"Sebentar dulu, tidakkah kau ingin melihat orang-orang Amerika itu?" kata seorang teman kepada Sattelite.

Amerika telah membawa perubahan di Irak, setidaknya demikian menurut cara pandang bangsa Kurdi. Film TCF mewakili cara pandang semacam itu.

Lantas sekarang, saat perang berkecamuk di Gaza, sementara anak-anak menjadi cacat atau yatim atau terbunuh, negara manakah yang melegalkan agresi militer Israel ke Gaza?

Meski film TCF dengan tajam berhasil mengaduk emosi penonton, tetapi saya tetap merasakan kekecewaan. Film ini menyisakan rasa mendua, setidaknya dalam kesan saya.

Komentar

Anonim mengatakan…
Saya berkunjung balik ke sini Mas Sam. Matur suwun sudah meninggalkan jejak di blog saya.

Salam rindu sawah...
samsulbahri mengatakan…
sama-sama Mas Bug... kita sama-sama pecinta desa..

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...