Angin dingin dari laut berhembus menggoyangkan daun pohon palma di halaman Rumah Sakit Koja. Keadaan begitu hening. Lantai dan setengah dinding dari marmer tampak pucat oleh benderang lampu di langit-langit koridor.
Dari luar, saya hanya mendengar bunyi dentang cepat monitor perekam pergerakan detak nafas dan jantung di ruang ICU.
Di dalam hati, saya berharap dan memohon, pagi ini Tuhan harus memberi kepastian...
Jam 4 dinihari tadi, suster membangunkan saya dan kawan Robi. "Keadaan sudah sangat kritis," kata Suster.
Saya dan Kawan Robi juga mbak Ari, bergegas menuju ruang ICU saat pandangan mata masih melihat kabur sekitar.
Di ruangan yang tidak memperkenankan orang masuk dengan alas kaki itu, saya mengambil baju khusus pengunjung warna biru dan mengenakannya. Lantai terasa begitu dingin terinjak oleh kaki yang telanjang.
Saya melangkah mengikuti Kawan Robi menuju bilik tempat isteri Kawan Robi dibaringkan. Selvia, isteri Kawan Robi, tergeletak tidak berdaya dengan beberapa buah selang dari botol infus dan tabung oksigen yang seperti menyumbat saluran pernafasannya.
Selvia yang lemah, dengan wajah sepucat batu pualam, menarik nafas panjang-panjang.
Sebelah tangannya terikat. Rambut di kepalanya tampak layu. Kedua matanya terkatup. Hanya sedikit saja putih di bola mata itu yang terlihat.
Suster berusaha menekan berkali-kali tepat di bagian dada Selvia agar detak jantungnya tetap bergerak. Atau sekedar menunjukkan kepada saya dan Kawan Robi bahwa inilah usaha maksimal yang dapat dilakukan pihak rumah sakit demi memulihkan sedikit saja harapan hidup yang tersisa pada diri Selvia.
Saya mengalihkan pandangan dari pemandangan menyedihkan itu: bagaimana mungkin tubuh yang lemah dengan nafas panjang-panjang dan susah itu dapat diperlakukan demikian; ditekan dan dipaksa.
Saya menyaksikan dokter yang duduk tenang memandang ke arah pasiennya sambil mencatatkan sesuatu, seperti tengah membikin prediksi sendiri dari rumus-rumus kedokteran yang terbaca di layar monitor di sisi ranjang tempat tubuh Selvia terbaring.
Apakah dokter itu sedang menghitung angka menjelang kematian? Pikirku. Di hadapan dokter dan suster, tubuh Selvia hanyalah seonggok benda hidup yang mengalami kerusakan di bagian dalam sel-sel tertentu yang membikin lemah tubuhnya. Kerusakan itu bernama gangguan pernafasan, gangguan jantung dan ginjal.
Saya keluar dari ruangan, meninggalkan Kawan Robi sendiri di dalam ICU menunggu isteri tercinta. Jarum jam menunjuk pukul 4.30. Kawan Robi meminta saya untuk segera menghubungi keluarga isteri terdekat. Saya mengontak beberapa nama dan memberitahukan -tanpa saya minta mereka untuk datang, tetapi seharusnya mereka paham dengan pesan yang saya kirim bahwa "keadaan Selvi sudah sangat kritis".
Saya berjalan pelan di koridor, dan sesekali menjengukkan pandangan ke luar, memandang bangunan rumah sakit berlantai delapan yang masih diselimuti kabut dan dingin hawa dari laut itu. Keadaan begitu hening. Hanya lamat-lamat bunyi dentang perekam detak nafas dan jantung yang terdengar. Saya berharap dalam hati yang paling dalam agar pagi ini Tuhan memberi kepastian.
Mula-mula saya menerima dua panggilan telepon, dari Ina adik kandung Selvia di Papua, dan dari Tante Lena. Pembicaraan kami tidaklah panjang. Saya katakan masing-masing kepada mereka bahwa keadaan Selvia sudah kritis. Saya juga menelpon Mas Mino, kakak kandung Selvia dan memberitahu keadaan kritis adiknya, tanpa saya meminta dia untuk datang, dan seharusnya dia memaklumi pemberitahuan saya.
Beberapa jarak kemudian, tiba pesan singkat dari Mas Mutamakkin, kakak kandung Kawan Robi, memberitahukan bahwa ia dan ibu sudah tiba di Rawamangun setelah perjalanan jauh dari Tuban sejak siang hari kemarin. Saya membalas pesan singkat itu dan meminta Mas Kin ke RSUD Koja dengan menumpang taxi.
Saya kembali masuk ke ruang ICU, maksud saya untuk memberi tahu Kawan Robi perihal SMS dari Mas Kin.
Tapi dari dekat pintu masuk, saya sudah tidak lagi mendengar bunyi alat perekam detak nafas dan jantung. Keadaan tambah hening. Saya sempat menyaksikan seorang pasien perempuan tua di dekat bilik tempat Selvia, menegakkan badannya yang tadinya tersandar.
Saya mendekati tempat di mana tubuh isteri kawan saya, Selvia, terbaring. Dua orang suster terlihat sibuk merapikan kain dan perangkat medis lainnya. Saya melihat selang yang melilit di antara tangan dan juga hidung Selvia sudah dilepas. Saya melihat mata Kawan Robi yang basah. Dokter yang meminta permisi meninggalkan ruangan usai merampungkan catatan medisnya.
Saya melihat...(dalam lamunan saya) malaikat yang bertengger di kaca jendela rumah sakit, pergi menjauh membawa hidup Selvia dan meninggalkan di hadapan kami, jasadnya yang kaku. Jejak kaki malaikat itu (masih dalam lamunan saya yang sebentar) terlihat jelas bekasnya di atas koyak embun yang menempel di bening kaca.
Saya membisikkan sesuatu dalam hati, semacam doa... Saya dan Kawan Robi bergegas keluar setelah mengucapkan terimakasih kepada dua orang suster yang merapikan jasad Selvia.
Pagi yang hening itu pecah oleh isak tangis kawan saya, beberapa menit setelah Tuhan mengambil keputusannya: membawa pergi Selvia.
"Selvi sudah enggak ada, enggak ada orang di sini," kata Kawan Robi di sela isak tangisnya, memberi tahu keluarga isteri terdekat yang tidak satu pun ada di sisi Selvia saat Tuhan mengambil keputusannya.
Saya menundukkan kepala menatap lantai marmer di koridor. Saya menyaksikan kawan Robi terduduk bersandar dengan mata sembab, sambil tangannya sibuk mengirim kabar lewat ponsel.
Kemudian saya memandang kembali ke luar. Angin pagi yang damai di hari duka itu bertiup perlahan menggoyangkan daun pohon palma di halaman Rumah Sakit Koja.
Selintas terbayang kemudian hari-hari melelahkan yang dijalani Kawan Robi dalam rangka merebut kembali hak hidup isteri tercintanya yang tengah direnggut penyakit berbahaya.
Kamis tanggal 15 Januari, dinihari jam 1 lewat, keadaan Selvia yang baru saja dinyatakan sembuh setelah dirawat di Rumah Sakit Ambarawa kian memburuk. Barangkali angin di kereta yang membawanya dari Semarang ke Jakarta tiga hari lalu telah pula turut membuat daya tahan tubuhnya melemah.
Malam itu juga (dan saya harus merasa menyesal karena telambat mengetahui pesan singkat ini) Kawan Robi berkirim SMS kepada saya menurut tulisan aslinya: tertanggal 15 Januari 2009 jam 01:45:19 AM.
Malam ni shelvi terpaksa masuk rumah sakit lagi. aq gotong sama kakmino ke RS Budi Asih. td demam tinggi, ngigau terus, sesak, sesenggukan, ga bisa bicara, mata ga bisa dibuka.
Kemudian SMS kedua terkirim dengan tanggal yang sama, pada jam 06:50:30 AM pagi. menurut aslinya:
Epi masuk UGD RS Budi Asih, Cawang tadi malem jam 02.00 setelah tak sadarkan diri. Tapi tempat perawatan penuh. sampai saat ini masih di UGD.
Bisakah Anda bayangkan, dua pesan singkat dari kawan saya itu tidak sempat saya baca lantaran ponsel saya taruh di laci meja kerja, dan tidak punya keinginan untuk mengambilnya segera.
Setelah mengetahui keadaan ini sekitar jam 7 pagi, saya mengontak Kawan Robi dan benar saja apa isi SMS itu. Saya bergegas menuju Cikoko naik dua kali angkutan kota dari Cikoko-Kalibata-kemudian ke RS Budi Asih.
Hari sudah tinggi, dan jam menunjuk pukul 9 lewat. Saya bergegas ke ruang UGD, tetapi kemudian menjumpai Kawan Robi dengan wajah kuyu seorang yang kurang tidur, di pintu gerbang UGD RS Budi Asih.
Tak berapa lama setelah kami berbincang di sisi gerbang, Kawan Robi membawa saya ke ruang UGD di mana tubuh isterinya, Selvia, terbaring lelah. Hanya sebuah selang oksigen yang membantu pernafasannya, kemudian sebuah selang infus tertancap di sebelah tangannya.
Beberapa orang keluarga dari isteri kawan saya berada di tempat itu. Tetapi semua seperti tidak punya keputusan cepat, akan dibawa ke mana Selvia hari itu. Sementara RS Budi Asih tidak dapat menampung karena semua ruangan penuh.
Kemudian sebuah pesan dari keluarga meminta agar Selvia dibawa ke RSUD Koja Jakarta Utara.
"Sudah dibooking kamar untuk Selvia di RSUD Koja" begitu kira-kira bunyi pesan tersebut.
Kawan Robi seorang diri di dalam ambulance menyertai isterinya dibawa dari RS Budi Asih menuju Koja Jakarta Utara. Beberapa orang keluarga yang menyertai mengikuti ambulance dari belakang. Saya sendiri diminta untuk membawa kembali sepeda motor dari RS Budi Asih ke kontrakan. Saya yang belum genap satu bulan di kota besar ini, tidak terlalu tahu rute-rute jalan raya, apalagi untuk mengendarai sepeda motor seorang diri.
Jumat keesokan hari tanggal 16 siang sekitar jam 2, saya menerima pesan singkat dari keluarga Kawan Robi di Yogya. Pesan itu dikirim Kawan Robi ke saudara kandungnya di Yogya, dan dari Yogya pesan itu dikirim kepada saya di Jakarta. (Ah, barangkali Kawan Robi tidak hendak mengganggu kesibukan saya. Karena itu dia tidak berkirim SMS memberitahukan keadaan isterinya setiba di Koja. Keadaan yang ternyata jauh lebih pelik dibanding saat masih berada di RS Budi Asih.
Pihak rumah sakit menolak menginapkan Selvia dengan mengatakan kepada Kawan Robi bahwa sudah tidak ada lagi kamar yang tersisa di ruang ICU. Sementara keadaan Selvia kian memburuk.
Berdasarkan cerita Kawan Robi kepada saya, oleh dokter di RS Koja dia diminta untuk memindahkan isterinya ke RS Puri Indah dengan uang muka sekitar Rp 20 juta. Dokter itu mengatakan langsung kepada Kawan Robi bahwa jika kawan Robi masih ingin melihat isterinya pulih, maka bukan RS Koja tempatnya, melainkan di Puri Indah dengan uang muka yang luar biasa mengejutkan itu.
Kawan Robi yang seorang diri nyaris frustrasi. Lebih dari 24 jam dia berada di RS Koja dengan tanpa kejelasan harus ditempatkan di mana isterinya. Ke Puri Indah tentu mustahil, sebab uang muka sebesar itu hanya pantas untuk kalangan pejabat menengah atas. Gaji bulanan wartawan tentu tidak akan sanggup menalangi uang pengobatan sebesar itu.
Di dalam kebingunan itu, Kawan Robi mengontak seorang kenalannya yang dengan suka rela mau membantu. Mas Sugiyanto, seorang pengurus partai dan aktivis datang menemui Kawan Robi di RS Koja setelah mendapat kabar keberadaan isteri Kawan Robi.
Mas Gi (demikian saya memanggilnya) membantu menemukan kamar di ruang ICU yang sebelumnya dikatakan sudah penuh oleh pihak rumah sakit. Mas Gi sempat memarahi pihak rumah sakit dan dengan tegas mengatakan bahwa dia akan membawa perkara 'kebohongan' pihak rumah sakit menjadi urusan publik.
Setelah pihak rumah sakit mendapat ancaman dari Mas Gi, barulah Kawan Robi diperkenankan menginapkan isterinya, Selvia.
Ah, apalagi ini namanya kalau bukan d-i-s-k-r-i-m-i-n-a-s-i. Tindakan membedakan atas dasar kriteria tertentu. Perlakuan diskriminatif belum juga lenyap dari praktik hidup kita sehari-hari. Dan saya baru sadar, ini Jakarta. Baru kali ini saya mengetahui bagaimana praktek diskriminatif itu berlangsung di depan mata saya.
*) catatan ini saya tulis untuk isteri kawan saya yang meninggal tanggal 19 Januari 2009 pukul 06.10 WIB di RS Koja Jakarta Utara.
Dari luar, saya hanya mendengar bunyi dentang cepat monitor perekam pergerakan detak nafas dan jantung di ruang ICU.
Di dalam hati, saya berharap dan memohon, pagi ini Tuhan harus memberi kepastian...
Jam 4 dinihari tadi, suster membangunkan saya dan kawan Robi. "Keadaan sudah sangat kritis," kata Suster.
Saya dan Kawan Robi juga mbak Ari, bergegas menuju ruang ICU saat pandangan mata masih melihat kabur sekitar.
Di ruangan yang tidak memperkenankan orang masuk dengan alas kaki itu, saya mengambil baju khusus pengunjung warna biru dan mengenakannya. Lantai terasa begitu dingin terinjak oleh kaki yang telanjang.
Saya melangkah mengikuti Kawan Robi menuju bilik tempat isteri Kawan Robi dibaringkan. Selvia, isteri Kawan Robi, tergeletak tidak berdaya dengan beberapa buah selang dari botol infus dan tabung oksigen yang seperti menyumbat saluran pernafasannya.
Selvia yang lemah, dengan wajah sepucat batu pualam, menarik nafas panjang-panjang.
Sebelah tangannya terikat. Rambut di kepalanya tampak layu. Kedua matanya terkatup. Hanya sedikit saja putih di bola mata itu yang terlihat.
Suster berusaha menekan berkali-kali tepat di bagian dada Selvia agar detak jantungnya tetap bergerak. Atau sekedar menunjukkan kepada saya dan Kawan Robi bahwa inilah usaha maksimal yang dapat dilakukan pihak rumah sakit demi memulihkan sedikit saja harapan hidup yang tersisa pada diri Selvia.
Saya mengalihkan pandangan dari pemandangan menyedihkan itu: bagaimana mungkin tubuh yang lemah dengan nafas panjang-panjang dan susah itu dapat diperlakukan demikian; ditekan dan dipaksa.
Saya menyaksikan dokter yang duduk tenang memandang ke arah pasiennya sambil mencatatkan sesuatu, seperti tengah membikin prediksi sendiri dari rumus-rumus kedokteran yang terbaca di layar monitor di sisi ranjang tempat tubuh Selvia terbaring.
Apakah dokter itu sedang menghitung angka menjelang kematian? Pikirku. Di hadapan dokter dan suster, tubuh Selvia hanyalah seonggok benda hidup yang mengalami kerusakan di bagian dalam sel-sel tertentu yang membikin lemah tubuhnya. Kerusakan itu bernama gangguan pernafasan, gangguan jantung dan ginjal.
Saya keluar dari ruangan, meninggalkan Kawan Robi sendiri di dalam ICU menunggu isteri tercinta. Jarum jam menunjuk pukul 4.30. Kawan Robi meminta saya untuk segera menghubungi keluarga isteri terdekat. Saya mengontak beberapa nama dan memberitahukan -tanpa saya minta mereka untuk datang, tetapi seharusnya mereka paham dengan pesan yang saya kirim bahwa "keadaan Selvi sudah sangat kritis".
Saya berjalan pelan di koridor, dan sesekali menjengukkan pandangan ke luar, memandang bangunan rumah sakit berlantai delapan yang masih diselimuti kabut dan dingin hawa dari laut itu. Keadaan begitu hening. Hanya lamat-lamat bunyi dentang perekam detak nafas dan jantung yang terdengar. Saya berharap dalam hati yang paling dalam agar pagi ini Tuhan memberi kepastian.
Mula-mula saya menerima dua panggilan telepon, dari Ina adik kandung Selvia di Papua, dan dari Tante Lena. Pembicaraan kami tidaklah panjang. Saya katakan masing-masing kepada mereka bahwa keadaan Selvia sudah kritis. Saya juga menelpon Mas Mino, kakak kandung Selvia dan memberitahu keadaan kritis adiknya, tanpa saya meminta dia untuk datang, dan seharusnya dia memaklumi pemberitahuan saya.
Beberapa jarak kemudian, tiba pesan singkat dari Mas Mutamakkin, kakak kandung Kawan Robi, memberitahukan bahwa ia dan ibu sudah tiba di Rawamangun setelah perjalanan jauh dari Tuban sejak siang hari kemarin. Saya membalas pesan singkat itu dan meminta Mas Kin ke RSUD Koja dengan menumpang taxi.
Saya kembali masuk ke ruang ICU, maksud saya untuk memberi tahu Kawan Robi perihal SMS dari Mas Kin.
Tapi dari dekat pintu masuk, saya sudah tidak lagi mendengar bunyi alat perekam detak nafas dan jantung. Keadaan tambah hening. Saya sempat menyaksikan seorang pasien perempuan tua di dekat bilik tempat Selvia, menegakkan badannya yang tadinya tersandar.
Saya mendekati tempat di mana tubuh isteri kawan saya, Selvia, terbaring. Dua orang suster terlihat sibuk merapikan kain dan perangkat medis lainnya. Saya melihat selang yang melilit di antara tangan dan juga hidung Selvia sudah dilepas. Saya melihat mata Kawan Robi yang basah. Dokter yang meminta permisi meninggalkan ruangan usai merampungkan catatan medisnya.
Saya melihat...(dalam lamunan saya) malaikat yang bertengger di kaca jendela rumah sakit, pergi menjauh membawa hidup Selvia dan meninggalkan di hadapan kami, jasadnya yang kaku. Jejak kaki malaikat itu (masih dalam lamunan saya yang sebentar) terlihat jelas bekasnya di atas koyak embun yang menempel di bening kaca.
Saya membisikkan sesuatu dalam hati, semacam doa... Saya dan Kawan Robi bergegas keluar setelah mengucapkan terimakasih kepada dua orang suster yang merapikan jasad Selvia.
Pagi yang hening itu pecah oleh isak tangis kawan saya, beberapa menit setelah Tuhan mengambil keputusannya: membawa pergi Selvia.
"Selvi sudah enggak ada, enggak ada orang di sini," kata Kawan Robi di sela isak tangisnya, memberi tahu keluarga isteri terdekat yang tidak satu pun ada di sisi Selvia saat Tuhan mengambil keputusannya.
Saya menundukkan kepala menatap lantai marmer di koridor. Saya menyaksikan kawan Robi terduduk bersandar dengan mata sembab, sambil tangannya sibuk mengirim kabar lewat ponsel.
Kemudian saya memandang kembali ke luar. Angin pagi yang damai di hari duka itu bertiup perlahan menggoyangkan daun pohon palma di halaman Rumah Sakit Koja.
Selintas terbayang kemudian hari-hari melelahkan yang dijalani Kawan Robi dalam rangka merebut kembali hak hidup isteri tercintanya yang tengah direnggut penyakit berbahaya.
Kamis tanggal 15 Januari, dinihari jam 1 lewat, keadaan Selvia yang baru saja dinyatakan sembuh setelah dirawat di Rumah Sakit Ambarawa kian memburuk. Barangkali angin di kereta yang membawanya dari Semarang ke Jakarta tiga hari lalu telah pula turut membuat daya tahan tubuhnya melemah.
Malam itu juga (dan saya harus merasa menyesal karena telambat mengetahui pesan singkat ini) Kawan Robi berkirim SMS kepada saya menurut tulisan aslinya: tertanggal 15 Januari 2009 jam 01:45:19 AM.
Malam ni shelvi terpaksa masuk rumah sakit lagi. aq gotong sama kakmino ke RS Budi Asih. td demam tinggi, ngigau terus, sesak, sesenggukan, ga bisa bicara, mata ga bisa dibuka.
Kemudian SMS kedua terkirim dengan tanggal yang sama, pada jam 06:50:30 AM pagi. menurut aslinya:
Epi masuk UGD RS Budi Asih, Cawang tadi malem jam 02.00 setelah tak sadarkan diri. Tapi tempat perawatan penuh. sampai saat ini masih di UGD.
Bisakah Anda bayangkan, dua pesan singkat dari kawan saya itu tidak sempat saya baca lantaran ponsel saya taruh di laci meja kerja, dan tidak punya keinginan untuk mengambilnya segera.
Setelah mengetahui keadaan ini sekitar jam 7 pagi, saya mengontak Kawan Robi dan benar saja apa isi SMS itu. Saya bergegas menuju Cikoko naik dua kali angkutan kota dari Cikoko-Kalibata-kemudian ke RS Budi Asih.
Hari sudah tinggi, dan jam menunjuk pukul 9 lewat. Saya bergegas ke ruang UGD, tetapi kemudian menjumpai Kawan Robi dengan wajah kuyu seorang yang kurang tidur, di pintu gerbang UGD RS Budi Asih.
Tak berapa lama setelah kami berbincang di sisi gerbang, Kawan Robi membawa saya ke ruang UGD di mana tubuh isterinya, Selvia, terbaring lelah. Hanya sebuah selang oksigen yang membantu pernafasannya, kemudian sebuah selang infus tertancap di sebelah tangannya.
Beberapa orang keluarga dari isteri kawan saya berada di tempat itu. Tetapi semua seperti tidak punya keputusan cepat, akan dibawa ke mana Selvia hari itu. Sementara RS Budi Asih tidak dapat menampung karena semua ruangan penuh.
Kemudian sebuah pesan dari keluarga meminta agar Selvia dibawa ke RSUD Koja Jakarta Utara.
"Sudah dibooking kamar untuk Selvia di RSUD Koja" begitu kira-kira bunyi pesan tersebut.
Kawan Robi seorang diri di dalam ambulance menyertai isterinya dibawa dari RS Budi Asih menuju Koja Jakarta Utara. Beberapa orang keluarga yang menyertai mengikuti ambulance dari belakang. Saya sendiri diminta untuk membawa kembali sepeda motor dari RS Budi Asih ke kontrakan. Saya yang belum genap satu bulan di kota besar ini, tidak terlalu tahu rute-rute jalan raya, apalagi untuk mengendarai sepeda motor seorang diri.
Jumat keesokan hari tanggal 16 siang sekitar jam 2, saya menerima pesan singkat dari keluarga Kawan Robi di Yogya. Pesan itu dikirim Kawan Robi ke saudara kandungnya di Yogya, dan dari Yogya pesan itu dikirim kepada saya di Jakarta. (Ah, barangkali Kawan Robi tidak hendak mengganggu kesibukan saya. Karena itu dia tidak berkirim SMS memberitahukan keadaan isterinya setiba di Koja. Keadaan yang ternyata jauh lebih pelik dibanding saat masih berada di RS Budi Asih.
Pihak rumah sakit menolak menginapkan Selvia dengan mengatakan kepada Kawan Robi bahwa sudah tidak ada lagi kamar yang tersisa di ruang ICU. Sementara keadaan Selvia kian memburuk.
Berdasarkan cerita Kawan Robi kepada saya, oleh dokter di RS Koja dia diminta untuk memindahkan isterinya ke RS Puri Indah dengan uang muka sekitar Rp 20 juta. Dokter itu mengatakan langsung kepada Kawan Robi bahwa jika kawan Robi masih ingin melihat isterinya pulih, maka bukan RS Koja tempatnya, melainkan di Puri Indah dengan uang muka yang luar biasa mengejutkan itu.
Kawan Robi yang seorang diri nyaris frustrasi. Lebih dari 24 jam dia berada di RS Koja dengan tanpa kejelasan harus ditempatkan di mana isterinya. Ke Puri Indah tentu mustahil, sebab uang muka sebesar itu hanya pantas untuk kalangan pejabat menengah atas. Gaji bulanan wartawan tentu tidak akan sanggup menalangi uang pengobatan sebesar itu.
Di dalam kebingunan itu, Kawan Robi mengontak seorang kenalannya yang dengan suka rela mau membantu. Mas Sugiyanto, seorang pengurus partai dan aktivis datang menemui Kawan Robi di RS Koja setelah mendapat kabar keberadaan isteri Kawan Robi.
Mas Gi (demikian saya memanggilnya) membantu menemukan kamar di ruang ICU yang sebelumnya dikatakan sudah penuh oleh pihak rumah sakit. Mas Gi sempat memarahi pihak rumah sakit dan dengan tegas mengatakan bahwa dia akan membawa perkara 'kebohongan' pihak rumah sakit menjadi urusan publik.
Setelah pihak rumah sakit mendapat ancaman dari Mas Gi, barulah Kawan Robi diperkenankan menginapkan isterinya, Selvia.
Ah, apalagi ini namanya kalau bukan d-i-s-k-r-i-m-i-n-a-s-i. Tindakan membedakan atas dasar kriteria tertentu. Perlakuan diskriminatif belum juga lenyap dari praktik hidup kita sehari-hari. Dan saya baru sadar, ini Jakarta. Baru kali ini saya mengetahui bagaimana praktek diskriminatif itu berlangsung di depan mata saya.
*) catatan ini saya tulis untuk isteri kawan saya yang meninggal tanggal 19 Januari 2009 pukul 06.10 WIB di RS Koja Jakarta Utara.
Komentar