Langsung ke konten utama

kepada kawan saya yang jauh

Kawan saya yang kini jarak tinggalnya jauh di seberang pulau berkirim pesan singkat selamat natal yang agak janggal kepada saya: "Selamat Natal 1429 H Kawan," tulisnya.

Ketika terbangun, saya teringat kawan saya ini, yang kini jarak tinggalnya bermil jauhnya dari saya. Pesawat Sriwijaya Air penerbangan Surabaya - Kalimantan membawanya meninggalkan tanah kelahiran.

"Perjuangan tidak harus di sini (Jawa), kawan. Kita perlu melebarkan sayap," kata kawan saya itu suatu ketika, saat saya memintanya untuk sebaiknya melanjutkan karir menjadi wartawan di Jakarta.

Saat ini dia menjadi tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah daerah setempat (Kaltim).

Sebelumnya, dia menamatkan studi program magister di IAIN Surabaya. Setelah itu melanjutkan ke program magister studi ICAS di Jakarta, masa pendidikan yang hanya dilakoninya satu smester, sebelum kemudian memutuskan untuk keluar dan memilih menjadi penulis lepas, lalu menjalani profesi wartawan di sebuah media harian yang sebetulnya tidak terlalu menjanjikan bagi perbaikan masa depan lantaran gaji yang rendah.

Dia teman yang saya kenal kira-kira di hari kedua belas sejak pertama kali saya tinggal di sebuah asrama mahasiswa di Yogya. Kami kuliah di satu kampus. Sama-sama punya kegemaran mengoleksi buku-buku.

Kawan saya itu membaca buku yang menyarikan pikiran Karl Marx. Dia mengoleksi kumpulan artikel Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi, membaca pikiran Ali Syariati, menuntaskan pikiran Nurcholis Majid, An-Naim, Fazlur Rahman dan sederet nama pemikir Islam kontemporer lainnya.

Kawan saya membaca buku-buku yang tergolong 'najis' (sylabus errorum) buku terlarang dalam khazanah kekinian, tetapi kawan saya juga membaca kitab suci dengan rutin selepas lima waktu.

Kami pernah sama-sama mengagumi dan menggandrungi gagasan berbau 'kiri', revolusioner dan dekonstruktif, saat gairah menjadi mahasiswa baru saja tumbuh, dan Yogya, kota yang telah memfasilitasi segenap keinginan dan hasrat kami untuk mengetahui segala hal dari wacana.

Kami pernah bersama-sama mengikuti pelatihan-pelatihan kader, seminar-seminar (gratis) yang tidak terbilang berapa kalinya, sekolah filsafat dadakan. Dan kami sekali waktu mendiskusikan gagasan-gagasan filsafat yang rumit, meski saya dan kawan saya belum tahu apa isi diskusi itu.

Dari smester satu hingga menjelang paruh akhir masa kuliah, kawan saya itu belum pernah jatuh cinta, hingga di suatu kesempatan saat mengikuti Kuliah Kerja Nyata. Ia menaksir seorang perempuan satu kelompok KKN, yang katanya dia harapkan akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anak dan keturunannya kelak.

Tetapi, si gadis yang diharapkan balasan cintanya itu, tidak memberi respon kepada keinginan hati kawan saya. Di situlah saya mulai tahu bahwa ternyata kawan saya ini tidak hanya bisa jatuh cinta kepada buku, tetapi juga kepada perempuan.

Dulu, kepada kawan saya inilah saya meminjam uang jika kehabisan uang makan. Dan kepada kawan ini pula sekali waktu saya membicarakan hal-hal paling pribadi, terutama soal perempuan (?).

Setamat kuliah, kawan saya hijrah ke Surabaya, saat saya memilih bertahan di Yogya. Sepeninggal kawan saya itu, saya seperti menjalani hari-hari dalam sendiri. Dia adalah satu di antara kawan-kawan saya, yang telah pergi, setelah mereka lulus.

Saat saya suatu hari berjalan sendirian menyusuri jalan-jalan di petakan sawah antara Nologaten dan Papringan menuju kampus, saat itu pula saya teringat kawan saya, betapa dulu kami sering naik sepeda berboncengan menuju kampus.

Kenangan yang tidak mungkin saya lupakan adalah saat kami harus terpaksa turun memperbaiki rantai sepeda yang copot, kerap setiba di tanjakan Nologaten. Saat sama-sama berkeringat karena mengayuh sepeda di tengah terik, saat itu pula terucap kata-kata yang selalu membuat semangat kami tidak pernah surut karena keadaan yang serba kekurangan: "Rakyat harus siap menderita, karena cita-cita revolusi belum tercapai."

Ungkapan itu tentu saja naif. Kata-kata yang pernah dijadikan mantra rezim Mao Tse Tung di masa awal revolusi di Cina. Kami masih merasakan gairah menjadi mahasiswa waktu itu, dan kami senantiasa terpesona dengan gagasan bernuansa revolusioner.

Pagi ini, saya terbangun lebih awal dari biasanya; Pukul 04.32 WIB. Ketika saya membaca kembali pesan singkat berisi ucapan selamat natal dari kawan saya yang jauh jaraknya itu, saya tergerak untuk mengingat-ingat kembali bagian-bagian pengalaman yang pernah saya dan kawan saya jalani. Dulu, saat kami masih menjadi mahasiswa di Yogya.

Kepada kawan saya yang telah jauh jaraknya dari saya: "Selamat Natal, Tuhan memberkatimu, dalam gelap dan terang, dalam suka dan duka, dalam susah dan mudah, dalam tawa dan sedih, dalam luang dan sempit, hingga tugas dan cita-cita muliamu tercapai."

Komentar

Mustatho mengatakan…
Kawan,harus aku utarakan,memang tidak hanya untuk kawan Sam sendiri ucapan marry christmas aku ucapkan.

lebih dari ke10 no tlp,dan kawan2 lama lainnya aku kirim ucapan itu. namun sebagian besar menaggapinya dengan kecurigaan,dan sinisme.

bahwa ucapan itu taklebih mengotori agama yang kita peluk, dan lain seterusnya.

Harga kebenaran dan kemanusiaan kemudian hanya ada dalam sempitnya kungkungan naif pikir manusia.

Entah untuk siapa hidup ini, kalau manusianya aja takmampu saling berbagi.

Salam Bumi Rawa-Rawa Kaltim.
samsulbahri mengatakan…
JELANG PETANG TADI SAYA LIHAT BERITA TV, BANJIR DI KALTIM, KUPIKIR KAWAN KENA BANJIR.

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...