Langsung ke konten utama

ke cawang

Saya akan melakukan perjalanan ke Cawang dengan kereta, pada sebuah pagi, ketika di timur sinar matahari baru saja naik lima jengkal. Sebelum berangkat, saya menelpon seorang kawan, mengabarkan kedatangan saya.

Di saku saya hanya ada HP yang tidak bisa difungsikan. Saya menelepon dengan telepon ofis, tak lebih dari 2 menit. “Saya akan ke Jakarta, Kawan. Sekitar jam 8 nanti saya sudah akan tiba di Cawang.” Kata saya di telinga kawan saya, lewat telepon.

Hari itu hari Minggu, 2 November. Di stasiun Bogor, saya seperti orang bingung. Setelah melewati loket dan membeli karcis ekonomi 2500 tujuan Jakarta, saya beranjak ke tempat di sisi rel, di mana para penumpang menunggu kereta yang akan tiba.

Mereka yang jeli membaca sikap seseorang, tentulah tidak akan sulit mengenali saya sebagai orang baru, meski saya berusaha bertingkah sebagai orang yang seolah-olah sudah lima tahun tinggal di kota itu.

Saya memaksa diri untuk bertanya kepada seseorang yang kelihatan telah lanjut usia. Saya memilih bertanya kepada orang tua itu, karena saya merasa jauh lebih aman bertanya kepada orang tua. Saya bertanya, di manakah letak kereta yang akan menuju ke Cawang?

Dengan nada yang kurang bersahabat dan mungkin dia tampak tidak ingin ditanya kedua kali, orang tua itu menjelaskan singkat. “Yang ini ni ke Cawang. Ntar lewat di Cawang.”

Di manakah letak stasiun Cawang? Saya juga sudah lupa-lupa ingat. Saya hanya pernah satu kali lewat dan menunggu kereta di tempat itu. Ingatan saya tidak cukup kuat untuk mengingat bagian-bagian penting yang menandai bagian stasiun itu. Apa tanda yang bisa saya ingat di stasiun itu? Sebuah dinding yang gelap..dinding yang membatasi pengelihatan setiap orang dari jalan raya? Ah, saya sudah lupa. Saya berharap akan ada petunjuk di jalan -paling tidak papan nama stasiun, atau pengumuman dari masinis.

Untuk menghilangkan kekikukan itu, saya membeli sebuah harian -koran tempo. Saya berusaha menenggelamkan pikiran ke dalam bacaan dengan memelototi halaman koran. Dan masih dengan tekad semula, saya harus tampak seperti orang yang sudah lima tahun berada di kota itu.

Tak beberapa lama berselang, kereta tiba dari utara. Saya belum tahu bahwa rupanya Stasiun Bogor adalah tempat perhentian terakhir kereta yang datang dari Jakarta. Sesegera mungkin orang-orang bergegas naik. Saya masih bingung.. Kalau memang mau ke Jakarta, mengapa orang-orang pada naik kereta yang baru saja tiba dari Utara (Jakarta)?

Bukankah kereta ini nanti akan terus ke selatan? pikirku. Agar tidak tampak bloon, saya bertanya kepada pedagang asongan “Pak kereta ini ke Cawang?” Pedagang asongan menganggukkan kepala. Saya bergegas menuju pintu kereta yang sudah mulai padat penumpang itu, ikut berjejalan bersama penumpang yang lain (Ini kelas ekonomi, Bung!).

Saya betul-betul tidak lagi ingat di mana Cawang. Beberapa kali kereta berhenti di persinggahan, menurunkan atau menaikkan penumpang yang akan ke Jakarta. Beruntung bahwa hari itu hari Minggu. Jumlah penumpang di kereta pada hari Minggu tak sebanyak di hari-hari sibuk seperti yang pernah saya lihat (ada yang nekat duduk di atap gerbong).

Perjalanan sudah hampir satu jam, tapi saya belum juga turun. Ketika kereta terasa menuju tanjakan saya kian bingung, sudah lewatkah Cawang? Atau masih beberapa meter di depan lagi.

Ah, saya betul-betul lupa. Tetapi saya masih juga bersikeras untuk berpura-pura bersikap seperti orang yang sudah lima tahun tinggal di kota itu. Saya belum mau bertanya kepada salah seorang penumpang pun. Dan kepada siapakah saya harus bertanya? Di sini semua orang seperti kurang bersahabat terhadap orang-orang yang tidak mereka kenal dengan baik.

Kalau saya bertanya kepada laki-laki ini,,, jangan-jangan setelah itu nanti dia akan menipu saya atau merampok saya. Kalau saya bertanya kepada perempuan itu,,, jangan-jangan saya yang dikira penipu dan tukang copet.

Tapi beruntunglah, saya masih punya kepercayaan dengan penampilan saya. Penampilan saya yang biasa-biasa saja, sebetulnya cukup menolong. Orang tidak akan mengira saya tukang copet atau penipu. Enggak mungkin. Pantalon yang saya kenakan adalah pantalon kain biasa dan bukan jeans. Baju yang saya kenakan adalah kemeja dan bukan kaos oblong sangar. Sisiran rambut saya simple dengan sedikit ketombe dan tidak necis. Bau parfum saya tidak tajam dan tidak bikin pusing. Aman..aman..aman..

Semakin ke utara, penumpang kereta semakin sedikit. Kini sudah ada tempat duduk kosong. Saya duduk di sebelah seorang perempuan muda (he.he.he..kebetulan Bro!). Saya menaksir dari penampilannya, barangkali perempuan di sisi saya bekerja sebagai karyawan di sebuah supermarket. Dilihat dari samping wajahnya, barangkali saja dia berasal dari desa seperti saya. Tapi setelah lama di Jakarta, logat bicaranya sudah berobah sebagaimana cara orang kota besar itu bicara.

Saya menyentuhkan lipatan koran di tangan saya ke lengan perempuan di sebelah saya. Dia menoleh dan saya bertanya, dengan nada bertanya seseorang yang belum tahu peta Jakarta: “Mbak, Cawang sudah sampai belum?”

Dengan wajah penuh keheranan, perempuan di sebelah saya menatap wajah saya yang naif dan bego. Dia menjelaskan... dan cara dia memberi penjelasan kepada saya seperti orang yang sudah menetap menjadi penduduk asli di tempat itu. “Cauwwang! Udah lewat Cawang mah. Tadi tuh Manggarai, Tebet, trus sebelahnya Cawang. Ntar aja naik kereta lagi balik ke sono. Tuh tadi yang kelihatan gelap itu Cawang..”

Saya hanya mengangguk, dan menampakkan wajah naif seorang yang baru pertama kali melakukan perjalanan dengan kereta dari Bogor ke Jakarta.

Di sebuah perhentian, perempuan tadi bergegas turun, dan seperti ia merasa mendapat kehormatan setelah tadi saya bertanya kepadanya, dia melambai ke arah saya dan memperlihatkan senyumnya yang paling bagus waktu hendak meninggalkan bangku duduk di sisi saya.

Saya turut merasa lega bahwa saya tidak salah orang tempat bertanya. Rasa was-was saya hilang. Saya tidak bisa mengontak kawan saya. Sebab HP di saku saya tidak dapat difungsikan.

Kereta berhenti di tujuan paling akhir: Stasiun Jakarta Kota. Semua penumpang telah turun, dan tinggallah saya seorang diri. Saya adalah orang terakhir di gerbong itu. Sejenak saya menunggu, barangkali akan ada orang yang masuk ke kereta itu. Tetapi ternyata tidak ada seorang pun yang naik, kecuali seorang tukang bersih gerbong kereta.

Saya bertanya kepada tukang bersih gerbong kereta dengan nada bicara seseorang yang sudah lima tahun tinggal di kota itu.. “Ni kereta mo ke Cawang, kan?” kata saya sambil menunjuk gerbong di sebelah gerbong tempat di mana saya menjadi penumpang terakhir yang turun. Tukang bersih gerbong kereta mengiyakan.

Saya bergegas naik lagi ke dalam gerbong kereta ekonomi yang akan bertolak menuju selatan (Bogor), tanpa harus membeli tiket lagi. Di dalam gerbong, beberapa bangku masih kosong. Saya memilih duduk di sisi seseorang yang tampak belum terlalu tua usia, karena dengan begitu saya merasa jauh lebih nyaman.

Tak berapa lama, kereta kembali melaju, ke selatan. Saya mulai bingung lagi. Haruskah saya bertanya lagi kepada orang tua di sisi tempat duduk saya? Dimana Cawang?

Kereta mulai jalan. Di sebuah perhentian, naik seorang ibu (yang tidak akan mungkin saya lupakan wajahnya) dengan seorang bayi yang digendong barangkali oleh mertua atau orang tua ibu itu sendiri.

Mereka mencari tempat duduk di gerbong itu. Hanya ada satu tempat duduk lagi. Orang tua di sebelah saya tidak mungkin berdiri, sayalah yang harus berdiri dan memberi tempat duduk untuk ibu (yang tidak akan mungkin saya lupakan wajanya) itu.

Saya masih bingung, siapa yang harus saya tanya? Dimana Cawang? Saya tidak mungkin kembali ke Bogor lagi. Saya harus bertanya sekarang juga, sebelum terlambat. Kereta terus ke selatan menuju arah yang tadi sudah saya lewati.

Lalu saya bertanya kepada pria tua di depan saya, di sisi saya sebelum saya berdiri tadi. “Pak, Cawang masih jauh?” tanya saya. Bapak yang tidak terlalu tua itu heran menatap saya. Barangkali dia berpikir bahwa saya mempermainkannya, pura-pura tidak tahu di mana stasiun Cawang.

Tetapi sebelum keluar jawaban dari mulut bapak yang belum terlalu tua itu, ibu (yang tidak akan mungkin saya lupakan wajahnya) menjawab cepat: “Cawang masih jauh. Habis Tebet.” Kata ibu itu.

Kereta terus berjalan, dan pikiran saya mulai berjalan membaca kira-kira dari keluarga dengan latar belakang apa gerangan ibu yang telah menjawab pertanyaan saya tadi. Ia, seorang ibu, dengan kulit lengan dan kulit atasan dada yang lembut, dan rambut yang dibiarkan tergerai dan lalu kemudian diikat dengan jepitan seharga 1000 perak yang dibeli dari seorang penjaja asesoris asongan.

“Sebentar lagi Cawang.” Kata ibu itu lagi. Saya bersiap-siap. Laju kereta kian lambat. Sekali lagi saya melihat ke arahnya. Dia mengangguk dan memberi isyarat agar saya segera turun, karena kereta hanya berhenti sebentar di Stasiun Cawang.

*dalam sebuah perjalanan ke rumah kontrak Kawan Robi di Jakarta, 2 November 2008.

Komentar

Ibnul A'robi mengatakan…
Dalam kegelapan, pasti ada sebuah titik terang. Jika tidak listrik, lampu teplok barangkai, atau lilin kecil yang tidak terlalu terang tapi cukup menyinari. Jika boleh menyebut, ibu muda yang rambutnya tergerai itu adalah lilinnya, he..he..
samsulbahri mengatakan…
tq atas kata-kata bijak ini, kawan.
Lagafure mengatakan…
Kawan sam....cawang...hati-hati kawan sering nanya orang di jakarta ntar di culik lho bahaya. pasang tampang serem aja pokoe naik kereta jurusan mana aja trus bilang saya mau ke cawang. kasi tau tu masinis bilangin belok ke cawang pak hahahahaha bencanda kawan. emang peganglah prinsip malu bertanya kereta jalan teruuus sukses kawan.....

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...