Langsung ke konten utama

Ini adalah hari Obama

[foto paling atas: Pidato kemenangan Barack Obama di hadapan pendukungnya di Grant Park Chicago/ foto-foto lain adalah foto saat kampanye]










Di depan layar televisi yang menyiarkan live proses akhir pemilu di Amerika, saya tak hendak beranjak dari tempat duduk barang sekejap. Padahal saya ingin sekali ke belakang membuang pipis.

Obama Menang. Jarak perolehan suara yang diraih senator dari Illinois (baca: Ilinoa) yang mewakili kubu Demokrat itu sangat jauh dibanding pesaingnya, John McCain dari Kubu Republik.

Para pendukung Obama berkumpul meluber di Grant Park, pusat kota Chicago. Dengan bendera kecil di tangan dan rasa senang yang meluap, mereka meneriakkan kemenangan “Yes We Can, Yes We Can.”

Sementara nun di negara bagian Arizona, pendukung John McCain, tertunduk lesu. Barangkali di antara mereka ada yang sulit menerima kenyataan.

Hari ini, Selasa 4 November yang bersejarah, Barack Obama, senator berusia 47 tahun keturunan blasteran Afro-Amerika, berkulit hitam, empat tahun tinggal di bilangan Menteng, Jakarta, akan menggenggam kekuasaan di sebuah negara yang untuk sepanjang tahun terakhir menjadi pusat kendali dunia.

John McCain membuka pidato kekalahannya dengan berendah hati sambil menyatakan “Kita tetaplah Amerika yang satu”. Sikap rendah hati yang ditunjukkan McCain, sebetulnya lebih banyak didorong oleh energi usianya yang telah lanjut. Ia adalah seorang kakek. Dan ia sadar, Amerika ke depan tak lagi membutuhkan tenaganya yang tua. Juga tak membutuhkan pengalamannya yang banyak.

Bukan hanya para pendukung kubu Republik yang tak percaya. Sarah Palin, perempuan yang telah berhari-hari menemani McCain dalam kampanye yang diharapkan McCain menjadi wakilnya di Gedung Putih jika terpilih, dengan rona wajah dan mata yang berkaca-kaca, sama tidak percayanya dengan para pendukung mereka.

Barangkali, dari atas mimbar tempat pidato kekalahan itu disampaikan McCain, Sarah yang hanya terdiam dan tak melontarkan sepatah kata pun, sempat berpikir “Ah, ternyata, rakyat Amerika tak membutuhkan wajahku yang cantik.”

Kemenangan Obama (dan wakilnya Joe Baiden) adalah sebuah titik balik. Di atas mimbar, lewat sebuah seremonial yang berbeda dari biasanya (Sebelum pidato kemenangan disampaikan Obama, terlebih dahulu berbicara seorang pendeta dan seorang yang mewakili militer), Obama menyampaikan sambutan kemenangan: “Sambutlah perubahan yang akan datang di negeri ini.” Kata Obama. “Yes We Can...” teriak gemuruh pendukungnya.

Change We Can Believe in atau Change We Need, adalah semboyan kampanye Obama. Kampanye yang konon diusahakan dengan dana yang sedikit, tetapi dengan usaha dan niat kuat yang tulus dan terorganisir.


Saya terharu mendengar salah satu bagian dari kata-kata Obama dalam pidatonya: “Anda semua ketahui, kampanye kita tidak didukung dana yang besar. Tetapi didukung oleh kerja keras dari niat baik untuk sama-sama menyaksikan perubahan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...