Sore menjelang lebaran. Di tengah sebuah pemakaman umum, berjalan seorang lelaki tua. Dengan langkah pelan, di antara tonggak nisan dan ilalang yang lesu karena terinjak, ia sibuk mencari-cari letak sebuah makam dari salah satu anggota sanak familinya. Usianya telah sangat tua, pandangan matanya telah kabur, dan barangkali ingatannya tidak cukup kuat untuk mengingat-ingat di mana letak kubur sanak familinya yang dimaksud.
Ia berdiri. Memandang ke kanan dan ke kiri. Batu-batu nisan di hadapannya begitu banyak. Manakah gerangan milik dari sanak familinya yang hendak ia kunjungi?
Ia berdiri. Memandang ke kanan dan ke kiri. Para peziarah lain lewat di sampingnya. Sebagian besar lahan pekuburan itu telah berubah hampir tiap tahun. Banyak anggota keluarga yang memuliakan kuburan sanak famili mereka dengan memberi penanda berupa tangkupan yang dibeli mahal dari toko penyedia bahan untuk pekuburan.
Lalu di mana letak kuburan sanak famili yang hendak ia kunjungi?
Sore menjelang lebaran. Orang-orang membawa bunga ke pekuburan. Mereka bersimpuh dan memanjat doa. Seorang dari mereka adalah seorang tua. Karena usianya yang uzur, ia tak lagi dapat dengan cermat mengingat di mana letak kuburan familinya. Ia menolehkan pandangan ke kanan lalu ke kiri.
Matahari kian condong. Sore menjelang lebaran. Para peziarah silih berganti datang dan pergi setelah memanjat doa, menyabuti rumput di atas pekuburan dan menabur bunga, sebagai ungkapan rasa cinta buat mereka yang telah mendahului ke alam baka.
Seorang tua yang tengah mencari letak makam keluarganya. Dalam satu tahun belakangan, tak terhitung sudah berapa banyak orang mati yang ditimbun di pemakaman umum itu. Mereka yang mati karena sakit, karena usia yang tua atau karena sebab lainnya.
Tanah pemakaman umum itu kian padat. Kuburan-kuburan lama yang tak sempat dirawat sanak keluarga dipastikan telah berganti penghuni. Ia seperti orang asing di tempat itu. Kunjungannya yang setahun sekali membuat dia tak lagi benar-benar mengenal persis lokasi makam familinya.
Barangkali ia hanya sempat memberi tanda pada pemakaman keluarganya dengan nisan sederhana dari kayu. Boleh jadi, nisan kayu itu telah lapuk, dan tanah pemakaman itu sendiri telah ditutupi ilalang. Boleh jadi setelah itu telah ada penghuni baru yang menempati posisi makam keluarganya.
Ia berdiri di salah satu sisi pemakaman umum itu. Ia tak tahu di mana persis letak makam familinya. Beruntung bahwa di pemakaman itu terdapat beberapa buah pohon besar. Dia masih ingat letak makam familinya dengan mengingat letak sebuah pohon besar di tempat itu. Beberapa kali ia melihat-lihat dan barangkali juga menghitung jumlah pohon-pohon besar di pemakaman umum itu.
Dengan bantuan salah satu pohon besar, dia dapat mengira-ngira di mana letak makam keluarganya. Kemudian di hadapan sebuah gundukan yang ditumbuhi ilalang yang sementara dia yakini sebagai makam sanak familinya, dia duduk bersimpuh.Dengan suara lirih, mula-mula dia menghaturkan salam kedatangan. Angin membawa doanya ke sorga.
Usai memanjat doa, ia cabuti rumput di atas gundukan tanah itu. Ia kemudian berdiri, bersiap untuk beranjak dari tempat itu.
Seorang lelaki tua yang tengah menziarahi makam sanak familinya pada sore menjelang lebaran. Daun-daun kering dari pepohonan jatuh begitu angin bertiup. Di sekelilingnya, dunia telah terasa begitu renta.
Ketika hendak melangkah pergi, terlintas dalam pikirannya, akankah tahun depan dia dapat berkunjung ke tempat ini lagi?
*Ditulis di Tuban tanggal 30 September 2008 menjelang 1 syawal 1429 h.
Ia berdiri. Memandang ke kanan dan ke kiri. Batu-batu nisan di hadapannya begitu banyak. Manakah gerangan milik dari sanak familinya yang hendak ia kunjungi?
Ia berdiri. Memandang ke kanan dan ke kiri. Para peziarah lain lewat di sampingnya. Sebagian besar lahan pekuburan itu telah berubah hampir tiap tahun. Banyak anggota keluarga yang memuliakan kuburan sanak famili mereka dengan memberi penanda berupa tangkupan yang dibeli mahal dari toko penyedia bahan untuk pekuburan.
Lalu di mana letak kuburan sanak famili yang hendak ia kunjungi?
Sore menjelang lebaran. Orang-orang membawa bunga ke pekuburan. Mereka bersimpuh dan memanjat doa. Seorang dari mereka adalah seorang tua. Karena usianya yang uzur, ia tak lagi dapat dengan cermat mengingat di mana letak kuburan familinya. Ia menolehkan pandangan ke kanan lalu ke kiri.
Matahari kian condong. Sore menjelang lebaran. Para peziarah silih berganti datang dan pergi setelah memanjat doa, menyabuti rumput di atas pekuburan dan menabur bunga, sebagai ungkapan rasa cinta buat mereka yang telah mendahului ke alam baka.
Seorang tua yang tengah mencari letak makam keluarganya. Dalam satu tahun belakangan, tak terhitung sudah berapa banyak orang mati yang ditimbun di pemakaman umum itu. Mereka yang mati karena sakit, karena usia yang tua atau karena sebab lainnya.
Tanah pemakaman umum itu kian padat. Kuburan-kuburan lama yang tak sempat dirawat sanak keluarga dipastikan telah berganti penghuni. Ia seperti orang asing di tempat itu. Kunjungannya yang setahun sekali membuat dia tak lagi benar-benar mengenal persis lokasi makam familinya.
Barangkali ia hanya sempat memberi tanda pada pemakaman keluarganya dengan nisan sederhana dari kayu. Boleh jadi, nisan kayu itu telah lapuk, dan tanah pemakaman itu sendiri telah ditutupi ilalang. Boleh jadi setelah itu telah ada penghuni baru yang menempati posisi makam keluarganya.
Ia berdiri di salah satu sisi pemakaman umum itu. Ia tak tahu di mana persis letak makam familinya. Beruntung bahwa di pemakaman itu terdapat beberapa buah pohon besar. Dia masih ingat letak makam familinya dengan mengingat letak sebuah pohon besar di tempat itu. Beberapa kali ia melihat-lihat dan barangkali juga menghitung jumlah pohon-pohon besar di pemakaman umum itu.
Dengan bantuan salah satu pohon besar, dia dapat mengira-ngira di mana letak makam keluarganya. Kemudian di hadapan sebuah gundukan yang ditumbuhi ilalang yang sementara dia yakini sebagai makam sanak familinya, dia duduk bersimpuh.Dengan suara lirih, mula-mula dia menghaturkan salam kedatangan. Angin membawa doanya ke sorga.
Usai memanjat doa, ia cabuti rumput di atas gundukan tanah itu. Ia kemudian berdiri, bersiap untuk beranjak dari tempat itu.
Seorang lelaki tua yang tengah menziarahi makam sanak familinya pada sore menjelang lebaran. Daun-daun kering dari pepohonan jatuh begitu angin bertiup. Di sekelilingnya, dunia telah terasa begitu renta.
Ketika hendak melangkah pergi, terlintas dalam pikirannya, akankah tahun depan dia dapat berkunjung ke tempat ini lagi?
*Ditulis di Tuban tanggal 30 September 2008 menjelang 1 syawal 1429 h.
Komentar