Langsung ke konten utama

Membincangkan Richard Florida dan Tesis Jalan-jalan

Sebulan lalu, di dalam sebuah mobil, dalam perjalanan pulang sehabis dari melayat di rumah rekan Joko "Gombloh" Suranto, di Klaten, saya, Sujud, Mbak Tari dan Linda, terlibat dalam perbincangan tentang banyak hal. Obrolan berjalan ke sana kemari. Satu di antara isi obrolan itu yang masih saya ingat-ingat adalah soal tokoh yang baru saya kenal, Richard Florida.

Mula-mula rekan Sujud yang memulai membuka pembicaraan dengan mengutarakan gagasan Florida soal "kelas kreatif", suatu struktur kelas sosial baru yang melampaui kategori rigid pembagian kelas a la marxian. Gagasan Flo diutarakan dalam karyanya yang berjudul The Rise of the Creative Class.

Kalau saya utarakan secara singkat, kira-kira begini isi gagasan Flo dalam The Rise of... Sebenarnya yang dia maksud sebagai kelas kreatif itu adalah sekelompok masyarakat dari generasi muda, yang memiliki kelebihan intelektual, keterampilan dan secara kreatif memaksimalkan keterampilan mereka untuk sesuatu yang menghasilkan atau sesuatu yang bernilai bisnis.

Begini deh contoh gampangnya. Anda pasti tahu Kedai Digital di Yogya. Usaha ini bergerak di bidang bisnis sablon. Tapi bukan sembarang sablon, karena yang disablon itu muk atau gelas. Hasilnya bisa berupa ucapan selamat untuk seseorang, atau bisa juga berisi gambar foto. Pokoknya sesuai pesanan konsumen.

Usaha ini ternyata cukup menjanjikan. Berbekal keterampilan, anak-anak Kedai Digital dapat memproduksi barang-barang yang memang diminati konsumen, khususnya di perkotaan. Omzet dalam satu bulan hasil penjualan barang ini dapat mencapai Rp. 300.000.000 (Tiga ratus juta). Angka yang fantastis, bukan? Usaha ini semata-mata merupakan usaha keterampilan sekaligus dibarengi hobi. Hobi nge-desain lewat komputer. Kedai Digital adalah contoh dari kegiatan industri kreatif.

Setelah perbincangan di dalam mobil itu, saya mencoba mengakses artikel Flo di internet. Hasilnya, saya menemukan tulisan panjang dia tentang apa itu kelas kreatif, disertai daftar tabel seberapa besar pertumbuhan kelompok kelas ini di kota-kota di negara maju. Ketertarikan Flo mengamati perkembangan kelas sosial ini berangkat dari pengalamannya sendiri melihat kenyataan adanya kelompok orang-orang, sebagian besar generasi muda, yang menurutnya sangat unik itu (selengkapnya baca The Rise of the Creative Class).

Meski demikian, saya melihat tidak sedikit yang memberi tanggapan yang mengkounter gagasan Flo soal kategori kelas sosial yang relatif baru ini. Saya belum menyempatkan diri untuk membaca komentar-komentar mereka. Saya berharap di lain kesempatan saya dapat membacanya.

*Ditulis di Bojonegoro Jawa Timur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...