Ketika saya terbangun di sebuah pagi, saya seperti merasa tengah mengulangi suatu kejadian yang sama di waktu yang berbeda. Ini yang dinamakan dejavu. Saya mengusap kedua mata saya yang masih sayu. Ruangan ini begitu asing. Udaranya asing. Aromanya juga asing. Saya telah berkali-kali merasa menjadi orang asing di tempat yang baru saya kunjungi.
Ini adalah pagi pertama saya di
Dalam kondisi tubuh yang masih lelah, saya memutar kembali ingatan rekaman perjalanan panjang saya, sampai pada akhirnya kini saya berada di tempat asing ini. Tanggal 4 Oktober, jam 8.30 petang, saya bertolak dari
Harapan saya, hari Minggu tanggal 5 pagi saya sudah harus tiba dan memulai kerja hari perdana di
Pagi hari Senin tanggal 6, saya berangkat ke
Kami akan berangkat ke selatan dari stasiun Cawang. Saya duduk termangu menunggu kereta tiba pada sebuah pagi yang sibuk di awal pekan. Dengan rasa takjub dan sedikit cemas, saya menyaksikan parade
Serombongan orang berjalan dengan langkah cepat, sekeluar dari kereta. Suara hentakan kaki mereka menimbulkan bunyi derap di lantai stasiun.
Ini pagi pertama saya di
Hmmm... Saya sadar, saya berada di sebuah
Dari kejauhan melengking pluit kereta api, sebelum kemudian berhenti di stasiun Cawang. Kereta yang akan membawa saya ke selatan telah tiba. Orang-orang bergegas berebut masuk. Saya turut mempercepat melangkah, seperti hendak mencoba belajar menyesuaikan diri dengan langgam hidup orang-orang
Di dalam gerbong kereta yang membawa saya ke selatan, saya termenung dan sesekali mencuri perhatian melihat apa saja yang dilakukan orang-orang di dalam kereta.
Saya mengalihkan pandangan ke luar. Kereta melaju kencang. Angin dari luar menampar-nampar wajah saya. Ah, bukankah ini adalah kali pertama saya naik transportasi berbahan bakar batu bara ini? Sudah hampir 16 tahun saya bermukim di Jawa. Tapi ini kali pertama saya melakukan perjalanan dengan kereta api.
Sepanjang jalan, saya menyaksikan deretan rumah-rumah, sebagian adalah tempat tinggal kumuh di pinggir rel. Mereka adalah penduduk yang terpaksa memilih tinggal di kawasan yang sebetulnya mengandung begitu banyak resiko.
Inilah wajah lain Jakarta. Orang-orang yang bernasib kurang mujur akan termarjinalkan. Tak hanya dalam soal kesempatan memperoleh akses sumber ekonomi, tetapi juga dalam hal wilayah tempat tinggal.
Satu jam kemudian, saya tiba di stasiun
Begenilah kira-kira, menurut saya, cara orang-orang
Dari stasiun, kami berjalan menuju alamat yang sudah diberikan. Tujuan kami adalah jalan halimun 8. Di situ letak tempat yang saya tuju. Sepanjang jalan saya menyaksikan dengan kagum bangunan-bangunan di sepanjang arteri
Buitenzorg, nama
Berada di
Buku-buku sejarah menuturkan kekejian, kecurangan dan keculasan kaum penjajah. Tentu hal ini menimbulkan perasaan kebencian buat siapa saja yang menjadi generasi bangsa terjajah, termasuk saya.
Tetapi, bangunan-bangunan peninggalan masa lalu yang saat ini saya saksikan dan saya kagumi, sekali lagi membuat saya harus menyadari dan berpikir konyol bahwa barangkali kolonialisme itu memang perlu.
Saya berjalan melewati istana
Bangunan istana itu adalah saksi bisu sejarah yang telah lalu. Drama politik, perjanjian-perjanjian penting, perundingan para elit pernah berlangsung di dalam bangunan itu.
Hari ini, paling tidak separuh dari minat saya telah tercapai: jalan-jalan ke
*Ditulis dan diposting di
Komentar