Langsung ke konten utama

Kawan, Saya Tiba Tiba-tiba

Ketika saya terbangun di sebuah pagi, saya seperti merasa tengah mengulangi suatu kejadian yang sama di waktu yang berbeda. Ini yang dinamakan dejavu. Saya mengusap kedua mata saya yang masih sayu. Ruangan ini begitu asing. Udaranya asing. Aromanya juga asing. Saya telah berkali-kali merasa menjadi orang asing di tempat yang baru saya kunjungi.

Ini adalah pagi pertama saya di Jakarta. Kedatangan saya begitu tiba-tiba. Tangan takdir mengantar saya seorang diri ke kota ini. Tadi malam, setiba di Pulo Gadung, saya menghubungi rekan saya, Robi. Dia mempersilahkan saya untuk menginap di kontrakannya, sebelum besok saya harus melanjutkan perjalanan ke Bogor.

Dalam kondisi tubuh yang masih lelah, saya memutar kembali ingatan rekaman perjalanan panjang saya, sampai pada akhirnya kini saya berada di tempat asing ini. Tanggal 4 Oktober, jam 8.30 petang, saya bertolak dari Surabaya dengan bus kota menuju Jakarta. Baru saja siang tadi sekitar jam 2, saya menyetujui untuk menerima tawaran kerja di sebuah kantor berita baru yang bermarkas di Bogor.

Harapan saya, hari Minggu tanggal 5 pagi saya sudah harus tiba dan memulai kerja hari perdana di Bogor. Namun kondisi di jalan raya dalam suasana arus balik paska lebaran, tidak memungkinkan saya tiba di tempat tepat waktu. Malah kedatangan saya terlambat jauh sekian jam. Akhirnya saya memutuskan untuk bermalam di rumah kontrak rekan saya.

Pagi hari Senin tanggal 6, saya berangkat ke Bogor ditemani kawan Robi. Dia wartawan di salah satu harian di Jakarta. Saya memahami kesibukannya yang padat. Tetapi, dia sekali lagi berbaik hati mau meluangkan waktu mengantarkan saya ke Bogor. Katanya biar saya tidak sesat jalan.

Kami akan berangkat ke selatan dari stasiun Cawang. Saya duduk termangu menunggu kereta tiba pada sebuah pagi yang sibuk di awal pekan. Dengan rasa takjub dan sedikit cemas, saya menyaksikan parade gaya dan irama hidup orang-orang kota yang sibuk.

Serombongan orang berjalan dengan langkah cepat, sekeluar dari kereta. Suara hentakan kaki mereka menimbulkan bunyi derap di lantai stasiun.

Ini pagi pertama saya di Jakarta. Sesuatu pemandangan yang asing tengah berlangsung di depan mata saya. Gegas laju kereta, orang-orang berjalan cepat, atau menunggu dengan diam, tatapan yang tanpa simpati. Tidak memperdulikan saya sebagai orang baru.

Hmmm... Saya sadar, saya berada di sebuah kota besar. Siapa mau peduli kepada orang baru?

Dari kejauhan melengking pluit kereta api, sebelum kemudian berhenti di stasiun Cawang. Kereta yang akan membawa saya ke selatan telah tiba. Orang-orang bergegas berebut masuk. Saya turut mempercepat melangkah, seperti hendak mencoba belajar menyesuaikan diri dengan langgam hidup orang-orang Jakarta.

Di dalam gerbong kereta yang membawa saya ke selatan, saya termenung dan sesekali mencuri perhatian melihat apa saja yang dilakukan orang-orang di dalam kereta. Para penumpang yang diam. Seorang pria yang sesekali memperhatikan jam tangannya, karena mungkin khawatir terlambat tiba di tempat kerja. Dua orang gadis ABG yang tengah asyik membincangkan kelanjutan acara sinetron tadi malam. Pengemis yang menyeret tubuhnya di lantai gerbong. Penjaja makanan dan koran. Beberapa orang yang suntuk memperhatikan halaman surat kabar dan berita hari itu.

Saya mengalihkan pandangan ke luar. Kereta melaju kencang. Angin dari luar menampar-nampar wajah saya. Ah, bukankah ini adalah kali pertama saya naik transportasi berbahan bakar batu bara ini? Sudah hampir 16 tahun saya bermukim di Jawa. Tapi ini kali pertama saya melakukan perjalanan dengan kereta api.

Sepanjang jalan, saya menyaksikan deretan rumah-rumah, sebagian adalah tempat tinggal kumuh di pinggir rel. Mereka adalah penduduk yang terpaksa memilih tinggal di kawasan yang sebetulnya mengandung begitu banyak resiko.

Inilah wajah lain Jakarta. Orang-orang yang bernasib kurang mujur akan termarjinalkan. Tak hanya dalam soal kesempatan memperoleh akses sumber ekonomi, tetapi juga dalam hal wilayah tempat tinggal.

Satu jam kemudian, saya tiba di stasiun Bogor. Keluar dari kereta, sekali lagi saya harus bergegas memacu langkah, menyesuaikan diri dengan cara orang-orang kota memperlakukan gerak tubuh mereka. Mata yang awas, tangan yang sigap, kaki yang bergegas, bicara tegas dan pendek dan senyum yang pelit.

Begenilah kira-kira, menurut saya, cara orang-orang kota besar memperlakukan tubuh mereka di tengah-tengah lingkungan mereka yang padat. Di sini, waktu dihargai dengan sangat istimewa.

Dari stasiun, kami berjalan menuju alamat yang sudah diberikan. Tujuan kami adalah jalan halimun 8. Di situ letak tempat yang saya tuju. Sepanjang jalan saya menyaksikan dengan kagum bangunan-bangunan di sepanjang arteri kota Bogor. Dahulu kota ini merupakan bagian dari wilayah administrasi pemerintah Hindia Belanda.

Buitenzorg, nama Bogor dulu. Kota yang masih banyak menyisakan jejak-jejak kolonialisme. Bangunan-bangunan tua nan tambun, bergaya arsitektur dari abad 19, dengan pilar tinggi besar, serta jendela dan pintu yang lebar.

Berada di kota ini, saya seolah merasa dibawa ke tempo masa lalu yang jauh: Abad kolonialisme. Zaman yang pedih dalam kenangan generasi sebuah bangsa jajahan, yang kini dituturkan dengan rapi dalam buku-buku sejarah resmi. Namun, saya merasa ada ambivalensi atau semacam perasaan mendua ketika saya memandang sisa-sisa zaman kolonial itu.

Buku-buku sejarah menuturkan kekejian, kecurangan dan keculasan kaum penjajah. Tentu hal ini menimbulkan perasaan kebencian buat siapa saja yang menjadi generasi bangsa terjajah, termasuk saya.

Tetapi, bangunan-bangunan peninggalan masa lalu yang saat ini saya saksikan dan saya kagumi, sekali lagi membuat saya harus menyadari dan berpikir konyol bahwa barangkali kolonialisme itu memang perlu.

Saya berjalan melewati istana Bogor. Dari luar pagar, saya hanya sempat melihat-lihat sekitar istana, dengan halaman luas, pohon-pohon rindang dan rusa-rusa yang memakan rumput.

Bangunan istana itu adalah saksi bisu sejarah yang telah lalu. Drama politik, perjanjian-perjanjian penting, perundingan para elit pernah berlangsung di dalam bangunan itu.

Hari ini, paling tidak separuh dari minat saya telah tercapai: jalan-jalan ke kota lama.

*Ditulis dan diposting di Bogor, pagi tanggal 9 Okt.

Komentar

Ibnul A'robi mengatakan…
Langkah telah terayun. jangan pernah lagi menengok ke belakang atau padatnya kendaraan yang lewat akan menyambarmu. Well come to the jungle! don't ever back before you reach what you hope...
samsulbahri mengatakan…
Nasehat kawan seperti nasehat pemimpin bala tentara Sparta, dalam film...300. "jangan tengok ke belakang!"

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...