Semalam hanphone saya berdering panjang. Di seberang, terdengar suara dua keponakan saya, Ici dan Ananta. Mereka dengan sengaja menelpon untuk menanyakan kepada saya bagaimana cara memainkan sebuah game di komputer. Mereka bilang file-nya sudah hilang dan tidak dapat ditemukan. Mereka tengah sibuk mencari-cari di mana file itu tersembunyi.
Dua keponakan saya yang lucu. Tahun ini kabarnya mereka sudah masuk sekolah. Ici di kelas 1 SD dan Ananta di TK.
Semasa masih menikmati liburan di kampung, kerap menjelang tidur malam, kedua keponakan saya meminta saya untuk mendongeng. Sebagaimana mereka sering meminta kakek dan nenek untuk mendongeng. Saya ambilkan dongeng dari cerita Harry Potter. Novel serial yang ditulis J.K. Rowling. Saya pernah membaca beberapa seri dari novel itu: The Scorer Stone, The Chamber of Secret dan The Prisoner of Azkaban. Lalu separuh dari The Order of Poenix.
Cerita itu berlanjut setiap malam. Lewat dongeng itu, saya memperkenalkan Ici dan Ananta kepada para tokoh dalam dunia dongeng itu. Harry Potter, Ron, Hermione, Hagrid (menurut penyebutan Ananta: Hagrip), Profesor Dumbeldore, Profesor Snape, Profesor Lupin, burung hantu, tikus milik Ron, si tokoh dengki Draco Malfoy dan kawan-kawan. Mereka adalah para penghuni sekolah sihir, Hogart. Dedalu Perkasa, pohon besar di halaman sekolah Hogart dan Penjara Azkaban tempat orang-orang jahat dikurung. Paman dan bibi Harry yang jahat. Dan Dudle sepupu Harry yang manja.
Nama-nama tokoh dongeng itu kian akrab dengan kedua keponakan saya. Ananta membuat perumpamaan untuk menghafal nama-nama sebagian tokoh baik, dengan memanfaatkan kelima jari tangannya: Dumbeldore (ibu jari), Harry Potter (telunjuk), Hagrid yang berbadan tinggi besar (jari tengah), Hermione yang pintar (jari manis) Ron yang paling buncit (kelingking). Lalu Snape diumpamakan dengan mata memicing dan Draco Malfoy dengan mata melotot kejam. Lantas sosok Dementor penjaga dari penjara Azkaban yang angker, dibayangkan dengan menggigilkan badan.
Cerita itu begitu dalam masuk ke benak anak-anak kecil ini. Tentang Ici misalnya. Suatu hari ketika neneknya menanyakan kemana kelak dia akan masuk sekolah, Ici menjawab dengan jawaban yang membuat neneknya terheran-heran: "Saya mau sekolah ke London...di sekolah Hogart." Neneknya berpikir, dari mana dia tahu London dan nama sekolah yang aneh itu?
Ici memberi tahu neneknya tentang sekolah Hogart, sekolah para penyihir. Ici juga memberi tahu neneknya tentang syarat masuk ke sekolah itu, yakni dengan menguasai bahasa Inggris. Neneknya kian heran. Aneh sekali cucuku ini. Pikirnya.
Suatu hari nenek hendak memotong kuku jari Ananta. Ketika bagian ibujari dipotong, Ananta menyebut nama Dumbeldore. Giliran telunjuk, Ananta menyebut nama Harry Potter dan begitu seterusnya. Lagi-lagi si nenek heran dengan satu cucunya ini. Dari mana anak-anak kecil ini tahu nama-nama aneh tadi? Pikirnya.
Ici dan Ananta sering menirukan bagaimana Harry Potter dan kawan-kawan menudingkan tongkat saat berusaha mentransfigurasi sebuah benda: "pus..paribussss". Yang saya kagumi dari anak-anak kecil seperti Ici dan Ananta adalah bahwa mereka senantiasa punya rasa ingin tahu yang besar. Karena itulah kenapa saya sangat bersemangat mendongeng buat mereka.
Dua keponakan saya yang lucu. Tahun ini kabarnya mereka sudah masuk sekolah. Ici di kelas 1 SD dan Ananta di TK.
Semasa masih menikmati liburan di kampung, kerap menjelang tidur malam, kedua keponakan saya meminta saya untuk mendongeng. Sebagaimana mereka sering meminta kakek dan nenek untuk mendongeng. Saya ambilkan dongeng dari cerita Harry Potter. Novel serial yang ditulis J.K. Rowling. Saya pernah membaca beberapa seri dari novel itu: The Scorer Stone, The Chamber of Secret dan The Prisoner of Azkaban. Lalu separuh dari The Order of Poenix.
Cerita itu berlanjut setiap malam. Lewat dongeng itu, saya memperkenalkan Ici dan Ananta kepada para tokoh dalam dunia dongeng itu. Harry Potter, Ron, Hermione, Hagrid (menurut penyebutan Ananta: Hagrip), Profesor Dumbeldore, Profesor Snape, Profesor Lupin, burung hantu, tikus milik Ron, si tokoh dengki Draco Malfoy dan kawan-kawan. Mereka adalah para penghuni sekolah sihir, Hogart. Dedalu Perkasa, pohon besar di halaman sekolah Hogart dan Penjara Azkaban tempat orang-orang jahat dikurung. Paman dan bibi Harry yang jahat. Dan Dudle sepupu Harry yang manja.
Nama-nama tokoh dongeng itu kian akrab dengan kedua keponakan saya. Ananta membuat perumpamaan untuk menghafal nama-nama sebagian tokoh baik, dengan memanfaatkan kelima jari tangannya: Dumbeldore (ibu jari), Harry Potter (telunjuk), Hagrid yang berbadan tinggi besar (jari tengah), Hermione yang pintar (jari manis) Ron yang paling buncit (kelingking). Lalu Snape diumpamakan dengan mata memicing dan Draco Malfoy dengan mata melotot kejam. Lantas sosok Dementor penjaga dari penjara Azkaban yang angker, dibayangkan dengan menggigilkan badan.
Cerita itu begitu dalam masuk ke benak anak-anak kecil ini. Tentang Ici misalnya. Suatu hari ketika neneknya menanyakan kemana kelak dia akan masuk sekolah, Ici menjawab dengan jawaban yang membuat neneknya terheran-heran: "Saya mau sekolah ke London...di sekolah Hogart." Neneknya berpikir, dari mana dia tahu London dan nama sekolah yang aneh itu?
Ici memberi tahu neneknya tentang sekolah Hogart, sekolah para penyihir. Ici juga memberi tahu neneknya tentang syarat masuk ke sekolah itu, yakni dengan menguasai bahasa Inggris. Neneknya kian heran. Aneh sekali cucuku ini. Pikirnya.
Suatu hari nenek hendak memotong kuku jari Ananta. Ketika bagian ibujari dipotong, Ananta menyebut nama Dumbeldore. Giliran telunjuk, Ananta menyebut nama Harry Potter dan begitu seterusnya. Lagi-lagi si nenek heran dengan satu cucunya ini. Dari mana anak-anak kecil ini tahu nama-nama aneh tadi? Pikirnya.
Ici dan Ananta sering menirukan bagaimana Harry Potter dan kawan-kawan menudingkan tongkat saat berusaha mentransfigurasi sebuah benda: "pus..paribussss". Yang saya kagumi dari anak-anak kecil seperti Ici dan Ananta adalah bahwa mereka senantiasa punya rasa ingin tahu yang besar. Karena itulah kenapa saya sangat bersemangat mendongeng buat mereka.
Komentar
Maka, bersyukurlah jika mendapatkan pembantu yang baik, pengasuh yang baik. yang mengerti akhlak dan sopan santun. HORMATI MEREKA. beri apa yang menjadi haknya. karena, otak bisa diasah di sekolah, tapi mental, spirit, akan tercipta dari lingkungan di mana kita berada. Jika orangtua sibuk, siapa lagi yang mengasuh anak kita kalau bukan pembantu atau para pengasuh2 itu. HIDUP PEMBANTU yang baik, he..he..