Kini setiap masuk bulan puasa, saya senantiasa teringat seorang kawan, Ahmad Adib, yang pada tahun 2005 dimakamkan dalam bulan puasa. Berawal dari sebuah kecelakaan, ia dirawat secara singkat di sebuah rumah sakit.Tiga minggu bertahan melawan ketidakjelasan status luka-luka di bagian dalam tubuhnya sebelum kemudian menghembuskan nafas paling penghabisan.
Malam itu, saya tengah berada di museum pelukis Affandi, menghadiri undangan pembukaan sebuah perhelatan pameran seni rupa Pra-Bali Bienale, ketika tiba-tiba sebuah kabar dari handphone saya memberitahukan Ahmad Adib meninggal. Berita ini tentu saja mengejutkan saya, meskipun kira-kira tiga minggu sebelumnya, saya mendapat kabar dia memperoleh kecelakaan di jalan antara Semarang menuju Purwodadi.
Kawan Ahmad Adib meninggal karena kecelakaan??? Saya tidak tahu mengapa Tuhan merencanakan kematian sahabat saya itu dengan jalan yang kurang lazim: kecelakaan lalu lintas. Sudah berkali-kali kawan Ahmad Adib mendapat kecelakaan di jalan raya. Di tahun 2001, dia pernah menginap hampir 3 minggu di RS. Bethesda setelah motor yang dikendarainya bertabrakan di pertigaan kampus.
Saya tidak mungkin melupakan kenangan musim libur panjang di pertengahan tahun 2000, ketika saya dan kawan Adib mendapat kecelakaan lalu lintas di Mataram, Lombok. Hari itu, hari Jumat siang, sepulang dari Ampenan, saya dan kawan Adib menumpang mobil angkot. Di tengah jalan, mobil menabrak cidomo dan beberapa pedagang di pinggir jalan, hingga badan mobil terguling. Kebetulan kaca bagian belakang pecah dan hancur. Saya dan kawan Adib yang masih dalam keadaan sadar, segera keluar dari dalam mobil, lewat kaca belakang yang hancur. Si sopir diketahui sedang mabuk saat sedang mengendarai.
Saya juga akan selalu ingat cerita dari kawan Adib sendiri, tentang giginya yang rompal. Dulu, semasih duduk di bangku SMA, dia pernah mengendarai motor dan terjatuh dalam sebuah kecelakaan yang menyebabkan sebiji gigi depannya rompal. Kata kawan Adib, demi mengingat saat tragis itu, dia membiarkan sebiji gigi depannya hilang dan tak berniat menggantinya.
Di dalam museum, sambil berjalan melihat-lihat pajangan puluhan karya lukisan, instalasi dan video art, saya teringat kawan Ahmad Adib. Bukankah ketika kali pertama saya menjejakkan kaki di museum ini, pada waktu itu saya bersama kawan Ahmad Adib? Itu kali pertama saya masuk museum dan belum pernah sekali lagi, sampai di waktu ketika saya mendapat undangan menghadiri pameran bertepatan dengan malam waktu kabar duka itu datang.
Ya, kira-kira dalam tahun 2000, sepulang dari kampus, pada siang hari yang terik, iseng-iseng saya dan Ahmad Adib mampir ke dalam museum. Sekedar bermaksud membayar rasa ingin tahu kami yang besar, sebab tiap hari saat pergi pulang dari kampus, kami lewat di depan museum ini, tapi belum satu kalipun berniat masuk ke dalam. Siang itu, saya dan kawan Adib membayar tiket. Di dalam museum dengan bebas kami menjelajah setiap ruangan galeri, melihat-lihat lukisan sang maestro.
Bersama kawan Ahmad Adib saya mulai mengenal siapa Affandi, pelukis yang mendedikasikan hidupnya untuk seni rupa. Saya dan Ahmad Adib berjalan melihat karya lukisan Affandi, mencermati foto-foto semasa hidupnya, membaca sejarah singkat riwayat hidupnya, melihat koleksi mobil dan sepeda ontel pribadinya.
Di halaman di luar ruang galeri, kami duduk-duduk santai, menikmati keindahan sekitar; bunga-bunga indah, rumah panggung kecil dan agak di bagian bawah terdapat kolam yang jernih dengan ikan yang berenang di dalamnya.
Kami membincangkan sesuatu yang kini sudah tidak saya ingat lagi, kecuali satu hal. Kawan Ahmad Adib berkhayal bahwa suatu saat nanti di kampungya, dia akan membangun sebuah rumah panggung. Di bawahnya ada kolam ikan, katanya. Kelak kemudian, dalam setiap perbincangan-perbincangan ringan bersama saya, dia kerap mengutarakan keinginannya untuk membikin rumah panggung dengan kolam ikan di bawahnya.
Requem aeternam...
Tetapi, tentu saja keinginan itu tak pernah tercapai di dunia ini. Engkau terlalu cepat pergi, kawan. Kini saya mengingatmu dalam setiap bulan puasa. Dan kalaupun di dunia ini tak pernah berdiri rumah panggung seperti yang engkau kehendaki itu, di sorga sana, Tuhan sudah menyiapkannya untukmu, kawan. Requem aeternam.
*Bagian lengkap eulogia ini saya tulis di catatan harian, bertepatan dengan hari pemakaman Kawan Ahmad Adib. Karena suatu sebab, saya tidak hadir dalam acara pemakaman tersebut. Saya berkunjung ke rumah almarhum, tujuh hari kemudian. Ketika dalam bulan puasa ini saya terkenang kawan Ahmad Adib, saya menulis kembali bagian-bagian dari eulogia di buku harian saya.
Malam itu, saya tengah berada di museum pelukis Affandi, menghadiri undangan pembukaan sebuah perhelatan pameran seni rupa Pra-Bali Bienale, ketika tiba-tiba sebuah kabar dari handphone saya memberitahukan Ahmad Adib meninggal. Berita ini tentu saja mengejutkan saya, meskipun kira-kira tiga minggu sebelumnya, saya mendapat kabar dia memperoleh kecelakaan di jalan antara Semarang menuju Purwodadi.
Kawan Ahmad Adib meninggal karena kecelakaan??? Saya tidak tahu mengapa Tuhan merencanakan kematian sahabat saya itu dengan jalan yang kurang lazim: kecelakaan lalu lintas. Sudah berkali-kali kawan Ahmad Adib mendapat kecelakaan di jalan raya. Di tahun 2001, dia pernah menginap hampir 3 minggu di RS. Bethesda setelah motor yang dikendarainya bertabrakan di pertigaan kampus.
Saya tidak mungkin melupakan kenangan musim libur panjang di pertengahan tahun 2000, ketika saya dan kawan Adib mendapat kecelakaan lalu lintas di Mataram, Lombok. Hari itu, hari Jumat siang, sepulang dari Ampenan, saya dan kawan Adib menumpang mobil angkot. Di tengah jalan, mobil menabrak cidomo dan beberapa pedagang di pinggir jalan, hingga badan mobil terguling. Kebetulan kaca bagian belakang pecah dan hancur. Saya dan kawan Adib yang masih dalam keadaan sadar, segera keluar dari dalam mobil, lewat kaca belakang yang hancur. Si sopir diketahui sedang mabuk saat sedang mengendarai.
Saya juga akan selalu ingat cerita dari kawan Adib sendiri, tentang giginya yang rompal. Dulu, semasih duduk di bangku SMA, dia pernah mengendarai motor dan terjatuh dalam sebuah kecelakaan yang menyebabkan sebiji gigi depannya rompal. Kata kawan Adib, demi mengingat saat tragis itu, dia membiarkan sebiji gigi depannya hilang dan tak berniat menggantinya.
Di dalam museum, sambil berjalan melihat-lihat pajangan puluhan karya lukisan, instalasi dan video art, saya teringat kawan Ahmad Adib. Bukankah ketika kali pertama saya menjejakkan kaki di museum ini, pada waktu itu saya bersama kawan Ahmad Adib? Itu kali pertama saya masuk museum dan belum pernah sekali lagi, sampai di waktu ketika saya mendapat undangan menghadiri pameran bertepatan dengan malam waktu kabar duka itu datang.
Ya, kira-kira dalam tahun 2000, sepulang dari kampus, pada siang hari yang terik, iseng-iseng saya dan Ahmad Adib mampir ke dalam museum. Sekedar bermaksud membayar rasa ingin tahu kami yang besar, sebab tiap hari saat pergi pulang dari kampus, kami lewat di depan museum ini, tapi belum satu kalipun berniat masuk ke dalam. Siang itu, saya dan kawan Adib membayar tiket. Di dalam museum dengan bebas kami menjelajah setiap ruangan galeri, melihat-lihat lukisan sang maestro.
Bersama kawan Ahmad Adib saya mulai mengenal siapa Affandi, pelukis yang mendedikasikan hidupnya untuk seni rupa. Saya dan Ahmad Adib berjalan melihat karya lukisan Affandi, mencermati foto-foto semasa hidupnya, membaca sejarah singkat riwayat hidupnya, melihat koleksi mobil dan sepeda ontel pribadinya.
Di halaman di luar ruang galeri, kami duduk-duduk santai, menikmati keindahan sekitar; bunga-bunga indah, rumah panggung kecil dan agak di bagian bawah terdapat kolam yang jernih dengan ikan yang berenang di dalamnya.
Kami membincangkan sesuatu yang kini sudah tidak saya ingat lagi, kecuali satu hal. Kawan Ahmad Adib berkhayal bahwa suatu saat nanti di kampungya, dia akan membangun sebuah rumah panggung. Di bawahnya ada kolam ikan, katanya. Kelak kemudian, dalam setiap perbincangan-perbincangan ringan bersama saya, dia kerap mengutarakan keinginannya untuk membikin rumah panggung dengan kolam ikan di bawahnya.
Requem aeternam...
Tetapi, tentu saja keinginan itu tak pernah tercapai di dunia ini. Engkau terlalu cepat pergi, kawan. Kini saya mengingatmu dalam setiap bulan puasa. Dan kalaupun di dunia ini tak pernah berdiri rumah panggung seperti yang engkau kehendaki itu, di sorga sana, Tuhan sudah menyiapkannya untukmu, kawan. Requem aeternam.
*Bagian lengkap eulogia ini saya tulis di catatan harian, bertepatan dengan hari pemakaman Kawan Ahmad Adib. Karena suatu sebab, saya tidak hadir dalam acara pemakaman tersebut. Saya berkunjung ke rumah almarhum, tujuh hari kemudian. Ketika dalam bulan puasa ini saya terkenang kawan Ahmad Adib, saya menulis kembali bagian-bagian dari eulogia di buku harian saya.
Komentar
Saat itu yang kuingat, pemuda gigi goang itu ternyata seorang pejuang. Aq kaget saat makan di warung samping pondok wahid hasyim. Ternyata dia juga tinggal di pondok. Bahkan satu kamar di komplek usman.
Bersama kawan adib pula, qta smua pernah menggagas perlunya perubahan pemikiran di pondok salafiyah. kita dobrak kemapanan dengan selalu menerbitkan selebaran yg saat itu kita namai tabloid gema. yang artinya geliat masy alit.
Kawan adib, sebenarnya perjuangan itu belum selesai. Tapi kau sudah mendahului kita smua. Doakan kami yg tersisa unt bisa meneruskan perjuanganmu...
Doakan juga kami smua agar bisa tetap teriak lantang dengan menggenggam erat bendera merah putih seperti yang dulu kau lakukan.
Doa kami juga selalu terpanjatkan untukmu di sana...
Jika di sorga kau bisa lihat kami. Mari kita ulang nyanyian itu seraya mengepalkan tangan kiri ke atas. "Mereka dirampas haknya...tergusur dan lapar.. Tuhan relakan darah juang kami.. untuk membela rakyat....