Sore menjelang petang akhir pekan lalu, saya dan seorang kawan berkunjung ke sebuah pusat perbelanjaan, Ambarrukmo Plaza. Ini saat bulan puasa. Suasana di dalamnya dibikin sesuai dengan nuansa bulan puasa. Musik-musik islami menggema. Pamflet-pamflet promo mengajak berbelanja sambil beramal. Sebagian barang yang memenuhi rumah belanja berhubungan dengan kepentingan konsumen di bulan puasa: fashion, makanan, entertain.
Ini bulan puasa. Di masjid dan televisi, melalui para juru dakwah, orang diajak meningkatkan ibadah. Orang diajak memperbanyak sedekah. Orang dilarang bersikap berlebihan. Puasa, katanya, sarana latihan menahan diri dari kemauan yang berlebih.
Saya masuk ke dalam sebuah rumah belanja. Di dalamnya barang-barang melimpah. Jauh lebih banyak dari yang pernah saya saksikan di luar bulan puasa. Kata promo yang tertulis di pamflet rumah belanja itu, bulan ini adalah "bulan berbagi", "indahnya berbelanja dengan kebersamaan".
Pesan ini terdengar religius. Karena memang pesan itu diambil (atau lebih tepat dicuri) dari pesan-pesan keagamaan, guna kepentingan konsumsi. "Bulan berbagi" yang dimaksud sebetulnya adalah bulan (puasa) di mana kita dianjurkan untuk menyisihkan sebagian harta untuk berzakat kepada kaum fakir. Karena sebagaimana bunyi brosur belanja di rumah belanja itu; "uang yang kita belanjakan, sebagiannya akan dizakatkan kepada kaum fakir."
Saya melihat di sini bukan hanya teks atau kalimat pesan itu saja yang diambil alih oleh lembaga konsumsi, melainkan juga segenap fungsi yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan pembagian zakat. Fungsi amil zakat. Dengan kata lain, jika Anda hendak menyisihkan sebagian harta Anda untuk kepentingan kaum fakir, maka dengan berbelanja di tempat belanja ini, otomatis Anda sudah menyumbangkan sebagian harta Anda kepada kaum fakir.
Rumah belanja itu akan menyalurkan sebagian keuntungan penjualan mereka untuk kepentingan kaum fakir. Di sini, peran amil zakat diambil alih oleh lembaga konsumsi yang bernama rumah belanja. Tetapi tentu kita sebagai konsumen tidak akan pernah tahu seberapa besar uang keuntungan penjualan itu yang disalurkan untuk kepentingan kaum fakir.
Yang jelas bahwa kita sudah beramal dengan berbelanja di rumah belanja itu. Kegiatan kita membeli barang, adalah sebuah kegiatan amal. Kegiatan yang bernilai kebaikan. Maka logikanya, semakin banyak uang yang kita belanjakan, semakin besar kontribusi kita atas sumbangan amal tersebut.
Di dalam rumah belanja itu, saya sempat berpikir, ternyata batas antara sebuah tempat belanja dan tempat ibadah tidaklah lebar. Meskipun tempat belanja adalah tempat di mana setiap orang mengumbar nafsu badaniahnya untuk mengkonsumsi barang, dan tempat ibadah adalah tempat di mana orang menekan kemauan ragawi demi mendekatkan diri kepada Tuhan, namun yang pasti kini makna "berbuat untuk pahala" itu tidak lagi dimonopoli oleh lembaga-lembaga keagamaan, melainkan juga oleh lembaga-lembaga konsumsi.
Kini kita menemukan kenyataan, sebagaimana yang saya rasakan di tempat belanja itu, bahwa bulan puasa sebetulnya tidak melatih kita untuk menahan diri, tetapi lebih banyak mendidik kita untuk menjadi hamba barang-barang konsumsi.
Secara garis besar, saya melihat betapa kekuatan kapitalisme, sebuah kekuatan yang memungkinkan barang-barang di rumah belanja itu disediakan secara melimpah, telah jauh masuk ke dalam bagian-bagian dari sisi kehidupan kita, termasuk di wilayah hidup kita yang paling sakral (wilayah agama). Atau jangan-jangan kita memang sudah menjadi hamba sahaya para tuan kapitalis itu.
Ini bulan puasa. Di masjid dan televisi, melalui para juru dakwah, orang diajak meningkatkan ibadah. Orang diajak memperbanyak sedekah. Orang dilarang bersikap berlebihan. Puasa, katanya, sarana latihan menahan diri dari kemauan yang berlebih.
Saya masuk ke dalam sebuah rumah belanja. Di dalamnya barang-barang melimpah. Jauh lebih banyak dari yang pernah saya saksikan di luar bulan puasa. Kata promo yang tertulis di pamflet rumah belanja itu, bulan ini adalah "bulan berbagi", "indahnya berbelanja dengan kebersamaan".
Pesan ini terdengar religius. Karena memang pesan itu diambil (atau lebih tepat dicuri) dari pesan-pesan keagamaan, guna kepentingan konsumsi. "Bulan berbagi" yang dimaksud sebetulnya adalah bulan (puasa) di mana kita dianjurkan untuk menyisihkan sebagian harta untuk berzakat kepada kaum fakir. Karena sebagaimana bunyi brosur belanja di rumah belanja itu; "uang yang kita belanjakan, sebagiannya akan dizakatkan kepada kaum fakir."
Saya melihat di sini bukan hanya teks atau kalimat pesan itu saja yang diambil alih oleh lembaga konsumsi, melainkan juga segenap fungsi yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan pembagian zakat. Fungsi amil zakat. Dengan kata lain, jika Anda hendak menyisihkan sebagian harta Anda untuk kepentingan kaum fakir, maka dengan berbelanja di tempat belanja ini, otomatis Anda sudah menyumbangkan sebagian harta Anda kepada kaum fakir.
Rumah belanja itu akan menyalurkan sebagian keuntungan penjualan mereka untuk kepentingan kaum fakir. Di sini, peran amil zakat diambil alih oleh lembaga konsumsi yang bernama rumah belanja. Tetapi tentu kita sebagai konsumen tidak akan pernah tahu seberapa besar uang keuntungan penjualan itu yang disalurkan untuk kepentingan kaum fakir.
Yang jelas bahwa kita sudah beramal dengan berbelanja di rumah belanja itu. Kegiatan kita membeli barang, adalah sebuah kegiatan amal. Kegiatan yang bernilai kebaikan. Maka logikanya, semakin banyak uang yang kita belanjakan, semakin besar kontribusi kita atas sumbangan amal tersebut.
Di dalam rumah belanja itu, saya sempat berpikir, ternyata batas antara sebuah tempat belanja dan tempat ibadah tidaklah lebar. Meskipun tempat belanja adalah tempat di mana setiap orang mengumbar nafsu badaniahnya untuk mengkonsumsi barang, dan tempat ibadah adalah tempat di mana orang menekan kemauan ragawi demi mendekatkan diri kepada Tuhan, namun yang pasti kini makna "berbuat untuk pahala" itu tidak lagi dimonopoli oleh lembaga-lembaga keagamaan, melainkan juga oleh lembaga-lembaga konsumsi.
Kini kita menemukan kenyataan, sebagaimana yang saya rasakan di tempat belanja itu, bahwa bulan puasa sebetulnya tidak melatih kita untuk menahan diri, tetapi lebih banyak mendidik kita untuk menjadi hamba barang-barang konsumsi.
Secara garis besar, saya melihat betapa kekuatan kapitalisme, sebuah kekuatan yang memungkinkan barang-barang di rumah belanja itu disediakan secara melimpah, telah jauh masuk ke dalam bagian-bagian dari sisi kehidupan kita, termasuk di wilayah hidup kita yang paling sakral (wilayah agama). Atau jangan-jangan kita memang sudah menjadi hamba sahaya para tuan kapitalis itu.
Komentar