Sungguh, saya tidak mengenal Mahmoud Darwish. Sampai suatu hari saya membaca tulisan wartawan senior Tempo, Gunawan Mohamad, di catatan pinggir, mengenang sang penyair dari Palestina itu, yang telah wafat pada 9 Agustus lalu.
Yang saya tahu soal Palestina hanya sebuah negara yang tak henti didera konflik: agresi militer, serangan mortir, bom bunuh diri. Yang saya tahu tentang orang Palestina hanya para pejabat PLO dan Hammas; Arrafat, Mahmoud Abas, Khaled Meshal. Dan saya tidak mengenal bahwa tanah Palestina yang berlumur darah itu melahirkan seorang penyair terkenal, Mahmoud Darwish.
Berikut ini saya sajikan sebuah artikel dari seseorang yang mengenal Darwish:
Mahmoud Darwish: Seorang Rakyat dan Penyair
22 Agustus 2008
Columbia, Missouri – Di suatu siang, 9 Agustus 2008, saya sedang bersiap-siap berbicara tentang pohon zaitun Palestina kepada sekelompok penulis dan pemikir di Keystone College in Pennsylvania. Untuk judul paparan tersebut, saya memecah kata olive (zaitun) menjadi dua, dan mengubahnya menjadi O’ Live! But death mocked me (O Kehidupan! Tetapi kematian mengejekku).
Sesaat sebelum saya meninggalkan ruangan untuk acara tersebut, telepon berbunyi. Telepon itu berasal dari kawan saya, pemusik Saed Muhssin, yang menelepon dari San Francisco. Suaranya dalam, sedalam lembah, jarang naik kalau bicara: "Sudahkah kamu mendengar?" tanyanya. "Ini berita duka", ia berancang-ancang. "Mahmoud Darwish wafat hari ini."
Pikiran saya menangis. Hati saya perih dengan segala kehilangan Palestina yang tak tersembuhkan, yang diingatkan kembali oleh setiap kehilangan baru – kehilangan Darwish membuat saya mengingat puisinya. "Aku tersimpul di sana. Beribu kenangan ku punya", tulis Darwish. Kenangan-kenangan yang ia catat dalam sekurang-kurangnya 30 buku puisi dan prosa, diterjemahkan ke dalam 20 bahasa, kurang lebih.
Ia dilahirkan pada tahun 1941, dan menerbitkan buku puisi pertamanya sebelum usia 20 tahun. Selama empat dekade, para penyair Palestina dan Arab diilhami olehnya, merujuk kepadanya, menirunya, memperdebatkan puisinya.
Saed dan saya termasuk Generasi M, sebuah identitas yang kami ciptakan beberapa tahun lalu. Saya tumbuh besar di Tepi Barat, di bawah pendudukan Israel, dan Saed adalah seorang warga negara Israel. Kami berdua adalah bangsa Palestina, kami memiliki kehidupan yang sama sekali berbeda. Tetapi di balik itu semua, kami berbagi kehampaan yang sama, kelaparan akan kebebasan, bagi sebuah dunia yang lebih indah. Kami mengisi rasa lapar kami dengan puisi-puisi Mahmoud Darwish, dan menyebut diri kami sebagai Generasi M.
Akibat ketiadaan rumah, Darwish mengubah bahasa menjadi sebuah tenda yang luas – bagi kami dan bagi semua yang membutuhkan sebuah rumah. Ia mengubah rasa rindu menjadi sebuah tempat pertemuan. Mereka yang berada dalam pengasingan dapat bertemu para ibu kami melalui ibunya – yang ia tak pernah lihat selama bertahun-tahun – ketika ia berseru:
Aku rindu roti bakar ibuku
Aku haus kopi ibuku.
Haus aku akan sentuh ibuku.
Ia menggunakan kata bahasa Arab ahennu untuk rindu, yang berarti sebuah kerinduan berselimut cinta. Itu adalah sebuah kata yang membangunkan ribuan perasaan sekaligus, dengan sejumput jejak gelora tak tertahankan.
Pada 1982, ia menulis "lasta wahdaka" (engkau tidak sendirian) untuk Yasser Arafat, ketika bangsa Palestina diusir dari Beirut. Darwish mengatakan itu kepada setiap orang di muka Bumi, kepada setiap orang yang diusir ke pengasingan untuk kesekian kalinya.
Dan pertanyaannya: "Kemana burung harus terbang setelah langit terakhir?" membuat saya menciptakan langit demi langit baru yang tak berkesudahan, menumpuk seperti kasur bagi para pengungsi Bumi.
Darwish, nama yang dalam bahasa Arab berarti seorang laki-laki suci pengelana spiritual, sesungguhnya sangat tepat baginya. Ia berpindah dari satu langit ke langit lain dan melintasi perbatasan demi perbatasan – antara Palestina, Israel, Rusia, Prancis, Yordania, Lebanon, Mesir, dan negara-negara lain. Di mana pun ia berada, kata-kata di tangannya merupakan sebuah lampu ajaib yang membebaskan jin dari bahasa Arab. Ia mengetahui hati bangsa Palestina. Ia mengetahui bahwa mereka hanya memiliki satu permintaan bagi sang jin, satu permintaan penuh kerinduan dari bahasa mereka – "rumah."
Seperti yang terlihat dalam bahasa dan puisinya, Darwish memiliki sebuah visi dan semangat untuk meraih keadilan. Ia membantu menuliskan sambutan terkenal Arafat kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1974, yang di dalamnya Arafat memohon kepada dunia dengan mengulang tiga kali, "La tusqeto al-ghusna al-akhdar min yadee" (jangan biarkan tunas hijau ini jatuh dari tangan saya).
Pada 1988, Darwish merancang proklamasi kemerdekaan Palestina. Di sana ia mengatakan bahwa perdamaian dapat dicapai dengan membentuk dua negara – satu Palestina, satu Yahudi. Ia menulis bahwa perdamaian dapat terwujud "di tanah cinta dan perdamaian" itu.
Diilhami oleh visi rekonsiliasi, ia menekankan bahwa bangsa Palestina akan menjadi sebuah masyarakat yang berhasil dalam hak-hak asasi manusia, kesetaraan, demokrasi, perwakilan, tanggung jawab sosial, dan rasa hormat penuh kepada semua orang, termasuk perempuan dan orang-orang dari keyakinan yang berbeda.
Pada salah satu penampilan terakhir Darwish, pada Juli 2008, para penonton di Ramallah menerimanya seolah-olah mereka menyadari bahwa itu merupakan kali terakhir mereka melihatnya. Mereka berdiri seperti pohon-pohon berjajar yang wangi dan sering ia tanam dalam puisinya. "Pikirkan antara (others)", ia berkata kepada mereka.
Ketika engkau menyiapkan sarapan pagimu – pikirkan antara. Jangan lupa memberi makan burung-burung merpati. Ketika engkau mengobarkan perangmu – pikirkan antara. Jangan lupakan mereka yang menginginkan perdamaian. Ketika engkau membayar tagihan airmu – pikirkan antara. Pikirkan mereka yang hanya memiliki awan untuk diminum. Ketika engkau pulang ke rumah, rumahmu sendiri – pikirkan antara – jangan lupakan mereka yang hidup di dalam tenda-tenda. Ketika engkau tidur dan menghitung planet-planet, pikirkan antara – ada orang yang tidak punya tempat untuk tidur. Ketika engkau membebaskan dirimu sendiri dengan metafor-metafor, pikirkan antara – mereka yang kehilangan hak mereka untuk bicara. Dan ketika engkau memikirkan antara yang jauh – pikirkan dirimu sendiri dan berkata, "Andai aku lilin dalam kegelapan."
Berbicara secara terbuka tentang kematian, ia mengaku kepada harian Arab Al-Hayat: "Saya tidak lagi takut dengan kematian. Dulu saya takut terhadapnya. Tetapi sekarang saya hanya takut akan matinya kemampuan saya menulis dan kemampuan saya menikmati hidup."
Sambil melanjutkan pergulatannya dengan seni, ia menulis, "Saya pikir puisi dapat mengubah segalanya, dapat mengubah sejarah dan dapat memanusiakan…. Sekarang saya pikir puisi hanya mengubah penyairnya."
Mahmoud Darwish yang terhormat, puisimu mengubahku.
Yang saya tahu soal Palestina hanya sebuah negara yang tak henti didera konflik: agresi militer, serangan mortir, bom bunuh diri. Yang saya tahu tentang orang Palestina hanya para pejabat PLO dan Hammas; Arrafat, Mahmoud Abas, Khaled Meshal. Dan saya tidak mengenal bahwa tanah Palestina yang berlumur darah itu melahirkan seorang penyair terkenal, Mahmoud Darwish.
Berikut ini saya sajikan sebuah artikel dari seseorang yang mengenal Darwish:
Mahmoud Darwish: Seorang Rakyat dan Penyair
22 Agustus 2008
Columbia, Missouri – Di suatu siang, 9 Agustus 2008, saya sedang bersiap-siap berbicara tentang pohon zaitun Palestina kepada sekelompok penulis dan pemikir di Keystone College in Pennsylvania. Untuk judul paparan tersebut, saya memecah kata olive (zaitun) menjadi dua, dan mengubahnya menjadi O’ Live! But death mocked me (O Kehidupan! Tetapi kematian mengejekku).
Sesaat sebelum saya meninggalkan ruangan untuk acara tersebut, telepon berbunyi. Telepon itu berasal dari kawan saya, pemusik Saed Muhssin, yang menelepon dari San Francisco. Suaranya dalam, sedalam lembah, jarang naik kalau bicara: "Sudahkah kamu mendengar?" tanyanya. "Ini berita duka", ia berancang-ancang. "Mahmoud Darwish wafat hari ini."
Pikiran saya menangis. Hati saya perih dengan segala kehilangan Palestina yang tak tersembuhkan, yang diingatkan kembali oleh setiap kehilangan baru – kehilangan Darwish membuat saya mengingat puisinya. "Aku tersimpul di sana. Beribu kenangan ku punya", tulis Darwish. Kenangan-kenangan yang ia catat dalam sekurang-kurangnya 30 buku puisi dan prosa, diterjemahkan ke dalam 20 bahasa, kurang lebih.
Ia dilahirkan pada tahun 1941, dan menerbitkan buku puisi pertamanya sebelum usia 20 tahun. Selama empat dekade, para penyair Palestina dan Arab diilhami olehnya, merujuk kepadanya, menirunya, memperdebatkan puisinya.
Saed dan saya termasuk Generasi M, sebuah identitas yang kami ciptakan beberapa tahun lalu. Saya tumbuh besar di Tepi Barat, di bawah pendudukan Israel, dan Saed adalah seorang warga negara Israel. Kami berdua adalah bangsa Palestina, kami memiliki kehidupan yang sama sekali berbeda. Tetapi di balik itu semua, kami berbagi kehampaan yang sama, kelaparan akan kebebasan, bagi sebuah dunia yang lebih indah. Kami mengisi rasa lapar kami dengan puisi-puisi Mahmoud Darwish, dan menyebut diri kami sebagai Generasi M.
Akibat ketiadaan rumah, Darwish mengubah bahasa menjadi sebuah tenda yang luas – bagi kami dan bagi semua yang membutuhkan sebuah rumah. Ia mengubah rasa rindu menjadi sebuah tempat pertemuan. Mereka yang berada dalam pengasingan dapat bertemu para ibu kami melalui ibunya – yang ia tak pernah lihat selama bertahun-tahun – ketika ia berseru:
Aku rindu roti bakar ibuku
Aku haus kopi ibuku.
Haus aku akan sentuh ibuku.
Ia menggunakan kata bahasa Arab ahennu untuk rindu, yang berarti sebuah kerinduan berselimut cinta. Itu adalah sebuah kata yang membangunkan ribuan perasaan sekaligus, dengan sejumput jejak gelora tak tertahankan.
Pada 1982, ia menulis "lasta wahdaka" (engkau tidak sendirian) untuk Yasser Arafat, ketika bangsa Palestina diusir dari Beirut. Darwish mengatakan itu kepada setiap orang di muka Bumi, kepada setiap orang yang diusir ke pengasingan untuk kesekian kalinya.
Dan pertanyaannya: "Kemana burung harus terbang setelah langit terakhir?" membuat saya menciptakan langit demi langit baru yang tak berkesudahan, menumpuk seperti kasur bagi para pengungsi Bumi.
Darwish, nama yang dalam bahasa Arab berarti seorang laki-laki suci pengelana spiritual, sesungguhnya sangat tepat baginya. Ia berpindah dari satu langit ke langit lain dan melintasi perbatasan demi perbatasan – antara Palestina, Israel, Rusia, Prancis, Yordania, Lebanon, Mesir, dan negara-negara lain. Di mana pun ia berada, kata-kata di tangannya merupakan sebuah lampu ajaib yang membebaskan jin dari bahasa Arab. Ia mengetahui hati bangsa Palestina. Ia mengetahui bahwa mereka hanya memiliki satu permintaan bagi sang jin, satu permintaan penuh kerinduan dari bahasa mereka – "rumah."
Seperti yang terlihat dalam bahasa dan puisinya, Darwish memiliki sebuah visi dan semangat untuk meraih keadilan. Ia membantu menuliskan sambutan terkenal Arafat kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1974, yang di dalamnya Arafat memohon kepada dunia dengan mengulang tiga kali, "La tusqeto al-ghusna al-akhdar min yadee" (jangan biarkan tunas hijau ini jatuh dari tangan saya).
Pada 1988, Darwish merancang proklamasi kemerdekaan Palestina. Di sana ia mengatakan bahwa perdamaian dapat dicapai dengan membentuk dua negara – satu Palestina, satu Yahudi. Ia menulis bahwa perdamaian dapat terwujud "di tanah cinta dan perdamaian" itu.
Diilhami oleh visi rekonsiliasi, ia menekankan bahwa bangsa Palestina akan menjadi sebuah masyarakat yang berhasil dalam hak-hak asasi manusia, kesetaraan, demokrasi, perwakilan, tanggung jawab sosial, dan rasa hormat penuh kepada semua orang, termasuk perempuan dan orang-orang dari keyakinan yang berbeda.
Pada salah satu penampilan terakhir Darwish, pada Juli 2008, para penonton di Ramallah menerimanya seolah-olah mereka menyadari bahwa itu merupakan kali terakhir mereka melihatnya. Mereka berdiri seperti pohon-pohon berjajar yang wangi dan sering ia tanam dalam puisinya. "Pikirkan antara (others)", ia berkata kepada mereka.
Ketika engkau menyiapkan sarapan pagimu – pikirkan antara. Jangan lupa memberi makan burung-burung merpati. Ketika engkau mengobarkan perangmu – pikirkan antara. Jangan lupakan mereka yang menginginkan perdamaian. Ketika engkau membayar tagihan airmu – pikirkan antara. Pikirkan mereka yang hanya memiliki awan untuk diminum. Ketika engkau pulang ke rumah, rumahmu sendiri – pikirkan antara – jangan lupakan mereka yang hidup di dalam tenda-tenda. Ketika engkau tidur dan menghitung planet-planet, pikirkan antara – ada orang yang tidak punya tempat untuk tidur. Ketika engkau membebaskan dirimu sendiri dengan metafor-metafor, pikirkan antara – mereka yang kehilangan hak mereka untuk bicara. Dan ketika engkau memikirkan antara yang jauh – pikirkan dirimu sendiri dan berkata, "Andai aku lilin dalam kegelapan."
Berbicara secara terbuka tentang kematian, ia mengaku kepada harian Arab Al-Hayat: "Saya tidak lagi takut dengan kematian. Dulu saya takut terhadapnya. Tetapi sekarang saya hanya takut akan matinya kemampuan saya menulis dan kemampuan saya menikmati hidup."
Sambil melanjutkan pergulatannya dengan seni, ia menulis, "Saya pikir puisi dapat mengubah segalanya, dapat mengubah sejarah dan dapat memanusiakan…. Sekarang saya pikir puisi hanya mengubah penyairnya."
Mahmoud Darwish yang terhormat, puisimu mengubahku.
Komentar