Langsung ke konten utama

Cerita Indu Tentang Mughal

Tentang kesultanan Mughal di India, saya hanya sempat mendengarnya di kuliah Sejarah Peradaban Islam. Dulu sekali. Saya juga mendapat tugas membuat makalah tentang kejayaan Islam di India di bawah pemerintahan Sultan Mughal. Dulu sekali. Makalah itu dititikberatkan kepada penjelasan tentang pluralisme beragama yang dikembangkan oleh Sultan Mughal. Setelah itu saya tidak pernah ingat lagi tentang sejarah kesultanan Mughal, sampai pada suatu hari, di perpustakaan, saya menemukan sebuah novel, ditulis oleh Indu Sundaresan. Novel itu berjudul "Mehrunnisa, The Twentieth Wife" (Mehrunnisa, Isteri Keduapuluh).

Novel itu mengisahkan tentang Mehrunnisa, seorang perempuan, anak dari pegawai kesultanan Mughal, keturunan Persia. Ayahnya, Gias Beg, adalah putra dari Wazir (Perdana Menteri) yang dipecat di kerajaan Safavi. Gias Beg bersama istrinya yang hamil, Asmat, melarikan diri menembus perbatasan tanah Hindustan. Dalam perjalanan pelarian ini, pada suatu malam yang sejuk, Asmat melahirkan bayi perempuan yang oleh Gias diberi nama Mehrunnisa (Matahari Para Wanita).

Karena terbebani, Gias dan Asmat memutuskan untuk membuang bayi mereka. Tetapi seorang pemimpin kafilah dari Mughal bernama Mirza Masud menemukan anak itu dan mengembalikannya kepada kedua orang tuanya. Mirza Masud membawa serta rombongan keluarga Gias bersama kafilahnya, menghadap sultan Akbar, raja Mughal pada waktu itu.

Gias diterima sebagai pejabat di kesultanan Mughal. Mehrunnisa tumbuh dalam lingkungan istana. Seorang istri sultan Akbar, Ruqayya, menyukainya dan memintanya hadir setiap saat di tempat para harem (Zenana).

Sultan Akbar memiliki seorang putra dari istrinya yang beragama Hindu bernama Pangeran Salim. Mehrunnisa yang beranjak remaja diam-diam memendam rasa cinta kepada Pangeran Salim. Bahkan dia membayangkan bahwa kelak dia dapat menjadi pendamping Pangeran Salim.
Pangeran Salim sendiri menaruh simpati mendalam kepada Mehrunnisa semenjak pertemuan pertama mereka yang tak disengaja.

Namun, takdir mengatakan lain. Mehrunnisa tidak menikah dengan Pangeran Salim, melainkan dengan seorang prajurit biasa yang mahir berperang, keturunan Persia bernama Ali Quli Istalju. Pernikahan yang dengan terpaksa diterimanya. Pernikahan yang diam-diam membuat Pangeran Salim terpukul. Bersama Ali, Mehrunnisa diberkahi seorang anak perempuan setelah dua kali mengalami keguguran kandungan.

Indu mampu membalut kisah cinta dengan tragedi politik: usaha dua kali pemberontakan pangeran Salim terhadap ayahnya. Peralihan kekuasaan dari sultan Akbar, setelah ia meninggal, kepada pangeran Salim yang kemudian bergelar Sultan Jahangir. Usaha pemberontakan pangeran Khusrau, putra sultan Salim, setelah Salim (Jahangir) berkuasa. Pengaruh dan muslihat para pejabat istana di seputar Sultan dan Pangeran. Pengaruh para perempuan harem yang mendiami Zenana. Sekilas tentang jaringan mata-mata yang dimiliki dinasti Mughal. Semua itu dikisahkan Indu dengan lincah.

Setelah Ali Quli yang mendukung Pangeran Khusrau meninggal dalam sebuah usaha pemberontakan, Mehrunnisa kembali ke Agra dan akhirnya menikah dengan Sultan Jahangir. Ia diberi gelar Nur Jahan. Cerita berakhir di sini dan dilanjutkan ke buku kedua yang edisi Indonesianya belum terbit, The Feast of Roses.

Jalinan cerita yang ditulis Indu Sundaresan, perempuan kelahiran India dan tinggal di Amerika ini, sangat menarik. Gaya bahasanya canggih. Ia seorang pendongeng yang ulung. Barangkali, Indu adalah satu dari sedikit jumlah perempuan sastrawan di India atau di seluruh dunia yang dapat menulis kisah dengan begitu ciamik.

Kekuatan dari novel Indu terletak pada adanya perpaduan antara fakta sejarah yang diramu fiksi. Indu mengaku bahwa sebelum menulis novelnya, ia terlebih dahulu mempelajari sejarah Mughal, sejarah nenek moyangnya sendiri. Kehebatan menggabungkan antara fakta sejarah dan fiksi merupakan ciri dari novel-novel post-mod.

Mengingat Indu dari India, saya teringat penulis novel perempuan yang juga kelahiran India, Arundathi Roy. Saya membaca karya Roy, kira-kira dua tahun lalu. Roy, adalah juga penulis sastra berbakat. Tetapi, pengalaman membaca novel Roy, The God of Small Thing (Yang Maha Kecil) adalah pengalaman yang kurang menyenangkan buat saya. Meski penuh dengan gagasan brillian, novel itu terbilang rumit dipahami. Tetapi saya tetap mengagumi Roy, karena gagasan brilian dalam ceritanya barangkali.

Di Indonesia, meski kita tengah memperbincangkan kelahiran dan kebangkitan para perempuan pengarang, namun, sejauh ini kita belum punya perempuan pengarang sehebat dan seserius Indu. Belum ada!?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ke Labuan Bajo

       Entah darimana isteriku dapat wangsit. T iba-tiba dia membuat rencana hendak   bepergian jauh: ke Labuan Bajo. Niatnya ini dia utarakan padaku, kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan kami.; “Kita akan ke Labuan Bajo   di musim liburan anak-anak nanti.” Tekadnya untuk pergi kian bulat, sebulat telur penyu. Dia rajin melihat review-review di kanal youtube dan medsos lainnya untuk mendapatkan kiat-kiat menempuh perjalanan jauh itu. Aku sendiri tidak pernah terpikir akan jalan-jalan ke sana. Jangankan ke Labuan Bajo, ke pulau tetangga (Sumbawa) saja saya belum pernah injakkan kaki. Sejauh ini, pemandangan di wilayah bagian timur Indonesia hanya saya saksikan secara intens dari menonton film-film Ekspedisi Indonesia Biru garapan dua jurnalis, Bung Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz alias Ucok.  Keduanya melakukan perjalanan keliling Nusantara di tahun 2015 silam, cumak bermodal honda bebek, tapi dengan hasil gambar-gambar video yang kemudia...

Fasholatan Kiai Asnawi Kudus

SETELAH hampir setahun, baru kali ini saya punya kesempatan membuka-buka dan membaca sebuah kitab mungil, Kitab Fasholatan , karya Kiai Asnawi Bandan Kudus. Kitab ini dihadiahi Ibu Nyai Sohib Bisri saat kami berziarah ke kediaman beliau di Pesantren Denanyar Jombang dalam bulan Agustus 2016 silam. Kebetulan isteri saya pernah mondok di asrama di bawah asuhan Nyai Sohib. Kedatangan kami ke Denanyar itu jadi semacam acara sowan murid kepada guru.  Bukan main hadiah yang diberikan sang guru kepada bekas muridnya, sebuah kitab berisi tuntunan sholat, dengan harapan agar si murid jangan sampai lalai terhadap kewajiban agama yang maha penting itu. Isteri saya bersama gurunya, Nyai Sohib Bisri (tengah) di Denanyar Djombang Barangkali sang guru tahu belaka kebiasaan para santri mereka setelah jauh dari pesantren, dan hidup bermasyarakat. Sebagian dari mereka telah banyak yang melupakan kebiasaan-kebiasaan saat mondok dulu, hanyut dalam kehidupan yang serba mementingka...

Saya Dibantah

Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil , kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi. Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai " a type of speech ," cara bicara. Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam ...