
Novel itu mengisahkan tentang Mehrunnisa, seorang perempuan, anak dari pegawai kesultanan Mughal, keturunan Persia. Ayahnya, Gias Beg, adalah putra dari Wazir (Perdana Menteri) yang dipecat di kerajaan Safavi. Gias Beg bersama istrinya yang hamil, Asmat, melarikan diri menembus perbatasan tanah Hindustan. Dalam perjalanan pelarian ini, pada suatu malam yang sejuk, Asmat melahirkan bayi perempuan yang oleh Gias diberi nama Mehrunnisa (Matahari Para Wanita).
Karena terbebani, Gias dan Asmat memutuskan untuk membuang bayi mereka. Tetapi seorang pemimpin kafilah dari Mughal bernama Mirza Masud menemukan anak itu dan mengembalikannya kepada kedua orang tuanya. Mirza Masud membawa serta rombongan keluarga Gias bersama kafilahnya, menghadap sultan Akbar, raja Mughal pada waktu itu.
Gias diterima sebagai pejabat di kesultanan Mughal. Mehrunnisa tumbuh dalam lingkungan istana. Seorang istri sultan Akbar, Ruqayya, menyukainya dan memintanya hadir setiap saat di tempat para harem (Zenana).
Sultan Akbar memiliki seorang putra dari istrinya yang beragama Hindu bernama Pangeran Salim. Mehrunnisa yang beranjak remaja diam-diam memendam rasa cinta kepada Pangeran Salim. Bahkan dia membayangkan bahwa kelak dia dapat menjadi pendamping Pangeran Salim.
Pangeran Salim sendiri menaruh simpati mendalam kepada Mehrunnisa semenjak pertemuan pertama mereka yang tak disengaja.
Namun, takdir mengatakan lain. Mehrunnisa tidak menikah dengan Pangeran Salim, melainkan dengan seorang prajurit biasa yang mahir berperang, keturunan Persia bernama Ali Quli Istalju. Pernikahan yang dengan terpaksa diterimanya. Pernikahan yang diam-diam membuat Pangeran Salim terpukul. Bersama Ali, Mehrunnisa diberkahi seorang anak perempuan setelah dua kali mengalami keguguran kandungan.
Indu mampu membalut kisah cinta dengan tragedi politik: usaha dua kali pemberontakan pangeran Salim terhadap ayahnya. Peralihan kekuasaan dari sultan Akbar, setelah ia meninggal, kepada pangeran Salim yang kemudian bergelar Sultan Jahangir. Usaha pemberontakan pangeran Khusrau, putra sultan Salim, setelah Salim (Jahangir) berkuasa. Pengaruh dan muslihat para pejabat istana di seputar Sultan dan Pangeran. Pengaruh para perempuan harem yang mendiami Zenana. Sekilas tentang jaringan mata-mata yang dimiliki dinasti Mughal. Semua itu dikisahkan Indu dengan lincah.
Setelah Ali Quli yang mendukung Pangeran Khusrau meninggal dalam sebuah usaha pemberontakan, Mehrunnisa kembali ke Agra dan akhirnya menikah dengan Sultan Jahangir. Ia diberi gelar Nur Jahan. Cerita berakhir di sini dan dilanjutkan ke buku kedua yang edisi Indonesianya belum terbit, The Feast of Roses.

Jalinan cerita yang ditulis Indu Sundaresan, perempuan kelahiran India dan tinggal di Amerika ini, sangat menarik. Gaya bahasanya canggih. Ia seorang pendongeng yang ulung. Barangkali, Indu adalah satu dari sedikit jumlah perempuan sastrawan di India atau di seluruh dunia yang dapat menulis kisah dengan begitu ciamik.
Kekuatan dari novel Indu terletak pada adanya perpaduan antara fakta sejarah yang diramu fiksi. Indu mengaku bahwa sebelum menulis novelnya, ia terlebih dahulu mempelajari sejarah Mughal, sejarah nenek moyangnya sendiri. Kehebatan menggabungkan antara fakta sejarah dan fiksi merupakan ciri dari novel-novel post-mod.
Mengingat Indu dari India, saya teringat penulis novel perempuan yang juga kelahiran India, Arundathi Roy. Saya membaca karya Roy, kira-kira dua tahun lalu. Roy, adalah juga penulis sastra berbakat. Tetapi, pengalaman membaca novel Roy, The God of Small Thing (Yang Maha Kecil) adalah pengalaman yang kurang menyenangkan buat saya. Meski penuh dengan gagasan brillian, novel itu terbilang rumit dipahami. Tetapi saya tetap mengagumi Roy, karena gagasan brilian dalam ceritanya barangkali.
Di Indonesia, meski kita tengah memperbincangkan kelahiran dan kebangkitan para perempuan pengarang, namun, sejauh ini kita belum punya perempuan pengarang sehebat dan seserius Indu. Belum ada!?
Komentar