
Setelah selesai membaca novel itu, saya berusaha mencari informasi lebih lanjut tentang beberapa hal yang ingin saya ketahui; tentang Souad yang ternyata (tentu saja) hanya nama samaran. Terre des Hommes (Bumi Manusia), organisasi kemanusiaan yang berdiri sejak tahun 1965 di Belanda, tempat Jaqueline, penyelamat jiwa Souad, bekerja.
Souad adalah perempuan yang lolos dari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh saudara iparnya, Hussein atas rencana kedua orang tua Souad sendiri. Ia hendak dibunuh lantaran diketahui hamil setelah menjalin hubungan cinta dengan seorang pemuda, Faiez.
Ia dibunuh dengan cara yang keji; cairan premium dialirkan di atas rambut kepalanya. Percikan api dari geretan membakar rambut dan pakaian, hingga separuh tubuhnya melepuh. Beruntung Souad masih punya nyali meneyelamatkan diri. Ia berlari dalam kobaran api yang membakar tubuhnya. Ia selamat.
Saya membaca novel ini dengan perasaan ngeri. Terutama karena kejadian ini terjadi dalam abad yang sangat maju. Akan tetapi, kemajuan yang melanda seluruh dunia, belum sepenuhnya sampai hingga ke sudut-sudut terpencil, termasuk di bagian desa Tepi Barat, Palestina, tanah kelahiran Souad.
Di desa itu, adat masih berlaku. Tradisi dipertahankan. Sayangnya, tradisi yang masih berdiri tegak itu hanya memihak kepada salah satu jenis kelamin; Laki-laki, dan mendiskreditkan jenis kelamin lainnya; Perempuan.
Di desa itu, laki-laki diagungkan, diberi kebebasan yang luas. Sebaliknya dengan perempuan. Mereka terkurung. Bahkan kelahiran mereka sendiri dianggap aib, ketika seorang ibu dalam sebuah keluarga tidak sanggup melahirkan anak laki-laki.
Di desa itu, perempuan diperlakukan seperti binatang. Perempuan berhak dipukuli, dijambak, bahkan dibunuh. Membunuh perempuan dianggap sebuah kehormatan. Saya teringat dengan tarikh tentang tradisi zaman jahiliyah Arab, seribu lima ratus tahun silam. Karena dianggap cemar, kelahiran anak perempuan tidak dikehendaki. Jikapun mereka terlahir, mereka akan segera dikembalikan ke bumi, mereka dikubur hidup-hidup. Demi kehormatan.
Sekali lagi, saya membaca novel itu dengan perasaan ngeri. Saya menaruh simpati kepada Souad, perempuan korban kekerasan itu. Tapi entahlah, saya tidak menaruh perasaan simpati kepada novel itu.
Saya tahu novel itu ditulis atas dasar kesaksian Souad. Atau barangkali Souadlah yang menulis dengan tangannya sendiri. Souad menulisnya dari sebuah sudut pandang yang berbeda dari tempat dimana ia dilahirkan. Souad menulisnya berdasarkan kesadarannya sebagai bagian dari "Eropa". Ia merasa telah menjadi Eropa; terutama pikirannya.
Ketika ia berada dalam posisi ini, ia menyaksikan jauh ke seberang, tanah kelahirannya di Tepi Barat, di mana dahulu ia nyaris menemui ajal, lantaran melanggar aturan tradisi (agama). Souad masih menyaksikan ada bara api di sana. Ada neraka di tanah kelahirannya yang sewaktu-waktu dapat membakar setiap perempuan seperti dirinya. Souad mengecam dan membenci tradisi itu. Ia bermaksud memadamkan neraka itu. Karenanya dia menulis kisahnya sendiri, Burned alive.
Kini Souad telah jadi bagian dari Eropa. Ia tinggal di Swiss, belajar bahasa Prancis, menikah dengan seorang keturunan Itali, Antonio. Souad menuturkan kisahnya dengan runut, fasih, mendebarkan, dan barangkali tak jarang membuat haru banyak pembaca di separuh dunia (Novel ini diterjemahkan ke dalam 28 bahasa).
Saya menaruh simpati kepada Souad. Tapi saya tidak bisa menaruh simpati kepada novel itu. Dari novel itu saya melihat ada spirit "Eropanisme" yang terus memancangkan superioritas atas dunia-dunia yang lain (the others) yang jauh di luarnya, terutama Timur Tengah.
Komentar