Ketika membahas tentang mitologi pada sebuah kuliah di bulan Mei lalu, saya menjelaskan beberapa contoh dari cerita rakyat dan juga kitab suci. Dalam kitab suci, saya menyebut surat al-fiil, kemudian kisah tentang Adam dan Hawa sebagai contoh. Saya katakan kepada mahasiswa bahwa kedua ayat itu (dan masih banyak yang lain) merupakan contoh mitologi.
Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai "a type of speech," cara bicara.
Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam Quran, tubuh bala tentara gajah melepuh seperti dedaunan yang dimangsa ulat.
Saya bertanya kepada mahasiswa. "Benarkah peristiwa ini pernah terjadi? Yakni peristiwa dilemparnya tentara bergajah dengan batu dari neraka?"
Tidak ada mahasiswa yang menjawab. Lalu saya katakan, peristiwa rencana ekspedisi oleh raja Abrahah bersama bala tentaranya untuk kepentingan menduduki kota Mekah memang pernah terjadi. Te
tapi kejadian burung yang datang berbondong membawa batu dari neraka dan melempari bala tentara itu, belum pernah terjadi.
Beberapa mahasiswa angkat bicara dan berkata seperti hendak menyimpulkan kata-kata saya: "Jadi, ayat Quran itu mitos dong, Pak."
Saya menjelaskan duduk perkara dari peristiwa itu secara panjang lebar, menenai bulan dan tanggal kejadian peristiwa, mengenai kejadian-kejadian krisis yang menimpa penduduk kota Mekah karena rasa takut mereka, mengenai sikap Abdul Mutallib yang dengan cerdik dapat membaca situasi apa yang bakal terjadi, lalu mengenai penyakit kulit yang menimpa para serdadu tentara bergajah akibat suhu panas di tengah gurun. Semuanya berdasarkan sumber tertulis dalam kitab sejarah. Tidak berdasarkan tarikh standar yang dipelajari di tingkat dasar.
Mereka dapat memahami penjelasan saya. Saya merasa puas karenanya.
Saya kemudian menyinggung satu kisah lagi dalam Quran, yakni kisah tentang Adam dan Hawa.
Di akhir penjelasan, saya mengajukan pertanyaan lagi: "Benarkah Adam dan Hawa manusia pertama di muka bumi?" Beberapa dari mahasiswa mengiyakan. "Benar, Pak. Menurut Quran dialah manusia pertama. Adam-Hawa nenek moyang umat manusia."
Saya menjelaskan lagi tentang Adam dan Hawa juga berdasarkan sumber bacaan yang pernah saya baca. Mereka seperti meragukan pendapat saya, dan para mahasiswa berkata lagi; "Jadi itu mitos juga dong, Pak."
Saya beralih ke penjelasan lain. Saya kutipkan dari buku A. Khalafullah. Di dalam karyanya ini, Khalafullah menjelaskan tentang posisi beberapa ayat yang ada di dalam Quran. Dia menyimpulkan bahwa, sebagian dari ayat Quran itu bukan merupakan peristiwa sejarah. Yang dia maksud adalah ayat-ayat yang ada hubungannya dengan kisah-kisah yang melampaui akal manusia. Termasuk tentang cerita burung ababil yang membawa batu dari neraka dan melempari tentara bergajah. Kata Khalafullah: kalau kita meyakini itu sebagai peristiwa sejarah, kita sebetulnya sedang membodohi diri kita sendiri. Sudah nyata-nyata peristiwa itu melampaui akal sehat manusia. Manamungkin ada burung membawa batu dari neraka?
Kisah ini sebetulnya diadaptasi Quran berdasarkan cerita nalar orang-orang Arab pada waktu itu yang memercayai bahwa kegagalan penyerangan tentara bergajah itu disebabkan karena Tuhan telah menolong mereka dengan mengirimkan burung-burung ajaib. Cerita ini terus hidup sampai di masa Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul Allah. Perlahan-lahan kisah ini turut tercantum menjadi bagian dari kitab suci untuk menunjukkan kebesaran Allah di hadapan orang-orang yang memusuhi para penyembah Allah.
Akan tetapi, beberapa dari mahasiswa itu terlanjur terprovokasi oleh penjelasan saya, dan oleh keberanian mereka menyimpulkan bahwa "Quran itu mitos dong, Pak."
Mereka lupa dengan definisi mitos itu sendiri. Mitos kan cara bicara. Ketika sebuah peristiwa tidak dapat mereka jelaskan secara logis, maka mereka menggunakan penjelasan apa adanya. Tetapi bukan berarti orang-orang Arab itu keliru menjelaskan masalahnya, sehingga memunculkan mitos. Melainkan dengan cara itulah mereka dapat memahami peristiwa. Saya kemudian berpikir, barangkali para mahasiswa itu belum memahami apa itu mitos.
Anggapan umum sendiri menyatakan bahwa segala sesuatu yang berbau mitos itu negatif. Nah, akar masalahnya mungkin di sini. Selalu saja yang berbau mitos itu dianggap negatif. Maka ketika saya katakan, berdasarkan kesimpulan mahasiswa juga, bahwa ayat Quran sebagian dibahasakan dalam bahasa mitos, mereka lantas tidak menerima pendapat saya.
"Kita harus mempercayai apapun yang sudah digariskan Allah dan Rasulnya. Itu sudah ketentuan dan kebenaran nyata. Kita tidak boleh menganggapnya sebagai mitos." Kata salah seorang mahasiswa dengan bersemangat.
Saya menjawab: "Ya, saya menerima dan juga memaklumi pendapat, Anda."
Mitos saya definisikan sebagai "cara masyarakat membahasakan dan menamai realitas yang dihadapinya." Sebetulnya, definisi ini saya pinjam dari Roland Barthes. Ia mendefinisikan mitos sebagai "a type of speech," cara bicara.
Kita tahu, surat al-fiil itu bicara tentang serombongan tentara berkendara gajah dari Yaman dipimpin oleh seorang raja bernama Abrahah, yang hendak menyerang tanah haram, Mekah. Akan tetapi, rencana besar raja Abrahah ini menemui kegagalan. Di tengah perjalanan menuju Mekah, serombongan burung mengepung dan melempari tentara bergajah itu dengan batu dari neraka. Lumatlah mereka. Diceritakan dalam Quran, tubuh bala tentara gajah melepuh seperti dedaunan yang dimangsa ulat.
Saya bertanya kepada mahasiswa. "Benarkah peristiwa ini pernah terjadi? Yakni peristiwa dilemparnya tentara bergajah dengan batu dari neraka?"
Tidak ada mahasiswa yang menjawab. Lalu saya katakan, peristiwa rencana ekspedisi oleh raja Abrahah bersama bala tentaranya untuk kepentingan menduduki kota Mekah memang pernah terjadi. Te

Beberapa mahasiswa angkat bicara dan berkata seperti hendak menyimpulkan kata-kata saya: "Jadi, ayat Quran itu mitos dong, Pak."
Saya menjelaskan duduk perkara dari peristiwa itu secara panjang lebar, menenai bulan dan tanggal kejadian peristiwa, mengenai kejadian-kejadian krisis yang menimpa penduduk kota Mekah karena rasa takut mereka, mengenai sikap Abdul Mutallib yang dengan cerdik dapat membaca situasi apa yang bakal terjadi, lalu mengenai penyakit kulit yang menimpa para serdadu tentara bergajah akibat suhu panas di tengah gurun. Semuanya berdasarkan sumber tertulis dalam kitab sejarah. Tidak berdasarkan tarikh standar yang dipelajari di tingkat dasar.
Mereka dapat memahami penjelasan saya. Saya merasa puas karenanya.
Saya kemudian menyinggung satu kisah lagi dalam Quran, yakni kisah tentang Adam dan Hawa.
Di akhir penjelasan, saya mengajukan pertanyaan lagi: "Benarkah Adam dan Hawa manusia pertama di muka bumi?" Beberapa dari mahasiswa mengiyakan. "Benar, Pak. Menurut Quran dialah manusia pertama. Adam-Hawa nenek moyang umat manusia."
Saya menjelaskan lagi tentang Adam dan Hawa juga berdasarkan sumber bacaan yang pernah saya baca. Mereka seperti meragukan pendapat saya, dan para mahasiswa berkata lagi; "Jadi itu mitos juga dong, Pak."
Saya beralih ke penjelasan lain. Saya kutipkan dari buku A. Khalafullah. Di dalam karyanya ini, Khalafullah menjelaskan tentang posisi beberapa ayat yang ada di dalam Quran. Dia menyimpulkan bahwa, sebagian dari ayat Quran itu bukan merupakan peristiwa sejarah. Yang dia maksud adalah ayat-ayat yang ada hubungannya dengan kisah-kisah yang melampaui akal manusia. Termasuk tentang cerita burung ababil yang membawa batu dari neraka dan melempari tentara bergajah. Kata Khalafullah: kalau kita meyakini itu sebagai peristiwa sejarah, kita sebetulnya sedang membodohi diri kita sendiri. Sudah nyata-nyata peristiwa itu melampaui akal sehat manusia. Manamungkin ada burung membawa batu dari neraka?
Kisah ini sebetulnya diadaptasi Quran berdasarkan cerita nalar orang-orang Arab pada waktu itu yang memercayai bahwa kegagalan penyerangan tentara bergajah itu disebabkan karena Tuhan telah menolong mereka dengan mengirimkan burung-burung ajaib. Cerita ini terus hidup sampai di masa Nabi Muhammad diangkat sebagai rasul Allah. Perlahan-lahan kisah ini turut tercantum menjadi bagian dari kitab suci untuk menunjukkan kebesaran Allah di hadapan orang-orang yang memusuhi para penyembah Allah.
Akan tetapi, beberapa dari mahasiswa itu terlanjur terprovokasi oleh penjelasan saya, dan oleh keberanian mereka menyimpulkan bahwa "Quran itu mitos dong, Pak."
Mereka lupa dengan definisi mitos itu sendiri. Mitos kan cara bicara. Ketika sebuah peristiwa tidak dapat mereka jelaskan secara logis, maka mereka menggunakan penjelasan apa adanya. Tetapi bukan berarti orang-orang Arab itu keliru menjelaskan masalahnya, sehingga memunculkan mitos. Melainkan dengan cara itulah mereka dapat memahami peristiwa. Saya kemudian berpikir, barangkali para mahasiswa itu belum memahami apa itu mitos.
Anggapan umum sendiri menyatakan bahwa segala sesuatu yang berbau mitos itu negatif. Nah, akar masalahnya mungkin di sini. Selalu saja yang berbau mitos itu dianggap negatif. Maka ketika saya katakan, berdasarkan kesimpulan mahasiswa juga, bahwa ayat Quran sebagian dibahasakan dalam bahasa mitos, mereka lantas tidak menerima pendapat saya.
"Kita harus mempercayai apapun yang sudah digariskan Allah dan Rasulnya. Itu sudah ketentuan dan kebenaran nyata. Kita tidak boleh menganggapnya sebagai mitos." Kata salah seorang mahasiswa dengan bersemangat.
Saya menjawab: "Ya, saya menerima dan juga memaklumi pendapat, Anda."
Komentar