Masuk ke sebuah rental CD, saya menemukan "Mereka Bilang Saya Monyet" (singkat: MBSM) sudah
dalam bentuk kaset. Dulu film ini hanya cerpen. Tapi si penulisnya, Djenar, berhasil membiakkannya menjadi film. Pengakuan Djenar sendiri, "saya sedang belajar jadi sutradara."
Saya tertarik membaca sinopsisnya. Lalu saya pinjam. Saya tonton sampai tuntas. Lima hari berselang, saya bikin komentar di blog Djenar. Tulis saya: "Djen, film kamu oke. Garapan musiknya juga oke. Ada campur tangan Djaduk Ferianto di situ. Akting pemain (a.l. Titi Sjuman, Hanidar Amroe, Yayang CN, Bucek) juga lumayan. Cuma ada yang sedikit mengganggu. Soal dering telpon. Ya, dering telpon itu mengganggu kenikmatan saya menonton MBSM. Permulaan film dibuka dering telpon. Sebagian peralihan adegan diantarai oleh dering telepon. Seakan-akan film itu t
idak akan jalan kalo tidak ada dering telpon."
Tapi saya tidak terlalu kecewa dengan pencapaian Djenar lewat MBSM yang difilmkan. Dering telepon itu cuma batu sandungan yang kecil, yang pada suatu saat dapat dikoreksi. Djenar punya bakat, terlepas dari apakah ini ada hubungannya dengan gen: Sjuman Djaya. Tentu saja bakat turunan itu kian matang setelah diasah.
Imajinasi Tanpa Kejutan
Dalam hal eksplorasi gagasan dalam cerita, Djenar punya keberanian. Tapi keberanian tidak cukup. Butuh kemampuan imajinasi. Saya tidak ingin mengatakan Djenar miskin i
majinasi. Djenar punya keahlian itu, tapi kurang dimaksimalkan. Karena wilayah imajinasi yang kurang dimaksim, banyak dari cerita (cerpen dan novel) yang ditulis Djenar berakhir dengan kalimat-kalimat biasa yang tanpa kejutan.
Yang demikian seharusnya tidak terjadi pada film. Karena di dalam film tantangan tidak lagi seperti saat menulis, berada pada kejelian merangkai kata yang dipakai
berdialog dengan pembaca. Dalam film, si pembuat bicara kepada penonton dengan kepandaian mengolah gambar, mengambil angel yang tepat, menciptakan dialog yang bernas. Hanya sesekali kejutan dalam MBSM terasa. Tetapi kurang menggigit.
Djenar secara berani ingin berusaha menghadirkan realisme sekaligus surealisme dalam film. Tetapi saya tidak merasakan getaran apa-apa. Malahan film ini seperti mengajak saya untuk mengingat kembali beberapa potong adegan dalam film-film lain yang pernah saya tonton.
Dalam MBSM, saya mencatat ada dua adegan yang punya kemiripan dengan film lain; Sanghai Triad dan film Jepang --saya lupa judulnya-- yang mengisahkan seorang penulis otobiografi, yang punya masa lalu gelap; menikmati tontonan sex antara ayah dan ibunya, lalu kemudian menikmati sendiri hubungan seksual dengan ayahnya. Film ini agak abstrak.
MBSM berlatar dunia kota kelas menengah atas, berikut problem yang ada di dalamnya; cinta, putus asa, kekecewaan, perselingkuhan. Suatu ide cerita yang tak lagi asing, semenjak film-film remaja bermunculan selama kurun delapan tahun terakhir.
Permulaan MBSM, dimulai dengan ibu yang dikagumi, "ibu saya cantik" dan seter
usnya. Sang ibu bersenandung di depan penonton sebuah tempat pertunjukan, dengan gaun merah nyala. Adegan ini mengingatkan saya kepada film Sanghai Triad. Wanita penghibur seorang pimpinan geng yang menari dengan gaun merah nyala pada sebuah perjamuan di hadapan banyak pasang mata.
Selebihnya, nuansa film MBSM lebih banyak mengingatkan saya kepada film Jepang yang sudah saya lupakan judulnya itu. Di situlah saya kemudian berkesimpulan bahwa film MBSM tidak banyak memberikan kejutan, setidaknya buat saya. Apakah proses penggarapan film ini dilakukan secara agak keburu-buru? Monyet punya sifat keburu-buru. Orang bilang kan Djenar monyet.

Saya tertarik membaca sinopsisnya. Lalu saya pinjam. Saya tonton sampai tuntas. Lima hari berselang, saya bikin komentar di blog Djenar. Tulis saya: "Djen, film kamu oke. Garapan musiknya juga oke. Ada campur tangan Djaduk Ferianto di situ. Akting pemain (a.l. Titi Sjuman, Hanidar Amroe, Yayang CN, Bucek) juga lumayan. Cuma ada yang sedikit mengganggu. Soal dering telpon. Ya, dering telpon itu mengganggu kenikmatan saya menonton MBSM. Permulaan film dibuka dering telpon. Sebagian peralihan adegan diantarai oleh dering telepon. Seakan-akan film itu t

Tapi saya tidak terlalu kecewa dengan pencapaian Djenar lewat MBSM yang difilmkan. Dering telepon itu cuma batu sandungan yang kecil, yang pada suatu saat dapat dikoreksi. Djenar punya bakat, terlepas dari apakah ini ada hubungannya dengan gen: Sjuman Djaya. Tentu saja bakat turunan itu kian matang setelah diasah.
Imajinasi Tanpa Kejutan
Dalam hal eksplorasi gagasan dalam cerita, Djenar punya keberanian. Tapi keberanian tidak cukup. Butuh kemampuan imajinasi. Saya tidak ingin mengatakan Djenar miskin i

Yang demikian seharusnya tidak terjadi pada film. Karena di dalam film tantangan tidak lagi seperti saat menulis, berada pada kejelian merangkai kata yang dipakai

Djenar secara berani ingin berusaha menghadirkan realisme sekaligus surealisme dalam film. Tetapi saya tidak merasakan getaran apa-apa. Malahan film ini seperti mengajak saya untuk mengingat kembali beberapa potong adegan dalam film-film lain yang pernah saya tonton.

MBSM berlatar dunia kota kelas menengah atas, berikut problem yang ada di dalamnya; cinta, putus asa, kekecewaan, perselingkuhan. Suatu ide cerita yang tak lagi asing, semenjak film-film remaja bermunculan selama kurun delapan tahun terakhir.
Permulaan MBSM, dimulai dengan ibu yang dikagumi, "ibu saya cantik" dan seter

Selebihnya, nuansa film MBSM lebih banyak mengingatkan saya kepada film Jepang yang sudah saya lupakan judulnya itu. Di situlah saya kemudian berkesimpulan bahwa film MBSM tidak banyak memberikan kejutan, setidaknya buat saya. Apakah proses penggarapan film ini dilakukan secara agak keburu-buru? Monyet punya sifat keburu-buru. Orang bilang kan Djenar monyet.
Komentar